Baliho Vs Mural: Karya Sama, Nasib Berbeda

Oleh: Riska Alifasya

Di tengah melambungnya kasus COVID-19 di Indonesia serta kebijakan PPKM yang terus diperpanjang, akhir-akhir ini media sosial diramaikan dengan potret baliho dari tokoh partai politik besar di Indonesia. Baliho-baliho yang dipasang dengan gagah itu mungkin bertujuan untuk menunjukkan eksistensi sang tokoh di dunia perpolitikan Indonesia atau hanya ingin memperkenalkan sang tokoh pada masyarakat secara umum? Entahlah, yang pasti setelah ada beberapa warganet yang mengirimkan potret-potret baliho tersebut di media sosial, kiriman tersebut mendapat berbagai reaksi dari masyarakat, ada yang peduli dan juga tidak. Namun, lebih banyak yang menyayangkan tindakan tersebut setelah mengetahui harga dari baliho, harga yang lumayan lah ya, satunya saja sudah bisa untuk membeli 1 ton beras. 

Beberapa pengguna media sosial juga menyarankan, “Daripada dipake buat bikin baliho mending buat bantu rakyat, apalagi saat kondisi PPKM yang serba sulit”, seperti itu ringkasnya. Karena pada kenyataanya tanpa baliho pun sang tokoh sudah sangat terkenal, apalagi setelah insiden ehem mematikan microphone. Namun, bagi mereka tidak ada yang salah dengan pembuatan baliho tersebut. Ya gapapa sih sebenarnya, walau gaji mereka dari masyarakat, tapi kan uang hasil “kerja” mereka, suka-suka. Masyarakat mah diem aja ya gak?

Beberapa hari setelah berita viral, muncul berita mengenai mural atau lukisan dinding yang diberi judul “404 Not Found” dan tiba-tiba saja mural itu hilang dari peradaban, usut punya usut ternyata mural ini “dibersihkan” oleh aparat setempat karena katanya menghina presiden. Padahal yang bikin aja gak menyebutkan nama presiden dalam karyanya tuh. Dilihat-lihat para petinggi ini terlalu banyak berasumsi dan mengambil keputusan sepihak ya, kabar buruk lain harus menimpa sang pencipta mural. Selain karya hasil jerih payahnya harus dihapuskan, beliau juga dicari-cari oleh para polisi, sepertinya akan “diadili”. Lucu sekaligus ngeri, berkarya saja bisa masuk bui.

Kabar pemburuan mural ini banyak mendapat reaksi, kebanyakan geram akan tindakan aparat yang menghapus mural tersebut. Namun tentu saja ada yang mengatakan jika mural tersebut merupakan suatu tindakan vandalisme yang melanggar hukum, lebih tepatnya yang terdapat pada pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 406 Ayat (1). Maka dari itu, mari kita lihat arti dari masing-masing kata tersebut. 

Mural berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata murus yang berarti dinding. Namun, jika diartikan secara luas mural berarti lukisan yang menjadikan dinding sebagai medianya. Mural sendiri sudah ada sejak zaman prasejarah. Pada masa prasejarah, Prancis menjadi negara yang memiliki banyak mural, mural yang terkenal pada saat itu adalah karya Pablo Picasso. Sementara itu, di Indonesia sendiri mural awalnya hanya dijadikan sebagai motivasi dan semangat kemerdekaan.

Dalam buku karya Harry Poeze yang berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I: Agustus 1945–Maret 1946, terdapat kata-kata, “Kota-kota mulai dipenuhi dengan pamflet dan coretan tembok, menggelorakan semangat perjuangan untuk melawan musuh”. Buku tersebut menguatkan bukti bahwa mural dipergunakan sebagai semangat perlawanan sejak zaman kemerdekaan.

Adapun arti vandalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Apakah mural yang viral kemarin mengakibatkan kerusakan? Saya rasa tidak. Mural hanya salah satu media ekspresi.

Dilihat dari dua kasus di atas antara baliho vs mural, kita bisa lihat jika ada ketimpangan di negeri ini. Dua karya yang sama-sama dihasilkan dari jerih payah, tetapi mendapatkan nasib yang berbeda. Jika yang satu merupakan hasil jerih payah berupa uang, sedangkan yang satu berupa kerja keras dan waktu. Karya yang sama-sama bertujuan untuk mengekspresikan perasaan, walau yang satu perasaan senang dan bangga sedangkan yang satu perasaan resah dan kecewa.

Nasib yang didapatkan dua karya tersebut pun sungguh berkebalikan. Respon yang diberikan oleh pemerintah untuk baliho katanya gak apa-apa, tidak usah dibesarkan, sedangkan respon yang diberikan pada mural adalah ancaman pidana, bahkan senimannya sudah seperti buron korupsi dikejar-kejar ke sana sini.  Padahal harusnya sama saja, biarkan saja tidak usah dibesar-besarkan.

Ada pertanyaan yang terlintas dalam benak saya, apakah jika ingin bersuara lewat karya di negeri ini harus banyak uang dulu? Atau harus menjadi bagian dari partai politik dulu? Padahal tujuan keduanya sama, hanya bedanya yang satu pesan dari pemerintah sang penguasa, sedangkan yang satunya lagi sebagai bentuk pesan dan media menyampaikan keresahan dari rakyat untuk sang penguasa yang mulia.

Penyunting: Hana dan Pipit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *