Oleh: Dedeh Sukmawati

            Pada 17 tahun yang lalu tepatnya pada 7 September 2004, pegiat Hak Asasi  Manusia (HAM) Munir Said Thalib, tewas setelah dibunuh dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda. Hingga saat ini, masih belum ada kepastian dan pemenuhan atas hak korban. Pembunuhan terhadap Munir merupakan pembunuhan tingkat tinggi karena menggunakan fasilitas negara, yakni pesawat Garuda Indonesia. Direktur LBH Jakarta Arif Maulana, menyebutkan bahwa kasus pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

            Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) batas waktu penutupan terhadap perkara pembunuhan dengan ancaman hukuman mati hanya 18 tahun sejak perkara itu terjadi. Kasus Munir sendiri terjadi pada 7 September 2004 sehingga akan kedaluwarsa pada 2022 mendatang. Kasus pembunuhan Munir dengan menggunakan racun arsenik 17 tahun yang lalu, masih menyisakan berbagai pertanyaan. Kasus Munir selalu didesak agar diusut, dengan pengecualian prinsip kedaluwarsa karena sebelumnya kasus ini ditangani melalui mekanisme hukum sebagai pembunuhan berencana.

            Mengenai kedaluwarsa pelanggaran HAM diatur secara lex specialis menyimpang dari ketentuan KUHP, yakni Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang berbunyi: “Untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kedaluwarsa”. Dalam hal ini, pelanggaran HAM yang berat tersebut meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam penanganan kasus pembunuhan Munir sendiri terdapat banyak kejanggalan. Saat kasus ini berlangsung, negara berada dalam kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat itu SBY sempat membentuk tim pencari fakta untuk mencari kebenaran dalam kasus ini.

            Dokumen hasil investigasi diserahkan secara langsung kepada Presiden SBY pada 24 Juni 2005. Namun, hingga akhir masa kepemimpinan SBY, dokumen tersebut tak kunjung dibuka  kepada publik. Saat pemerintahan berganti kepada Presiden Joko Widodo, dokumen hasil laporan Tim Pencari Fakta (TPF) tiba-tiba dinyatakan hilang. Hilangnya laporan tersebut baru diketahui pada pertengahan Februari 2016. Ketika itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendatangi kantor sekretariat negara meminta penjelasan dan mendesak segera dilakukan pengumuman hasil laporan Tim Pencari Fakta (TPF).

            Pemerintah dianggap gagal mengamankan dan menyimpan dokumen super penting yang berisi hasil temuan dan pencari fakta selama 3-6 bulan setelah kematian Munir. Waktu terus berjalan dan rezim pun berganti, koalisi masyarakat sipil pegiat Hak Asasi Manusia hingga saat ini masih terus mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk segera menemukan dokumen yang hilang, mengungkapkannya ke publik, dan menindaklanjuti semua hasil laporan tersebut. Seperti sebuah pekerjaan rumah yang sulit diselesaikan, dua kali presiden berganti dan delapan kali kapolri berganti juga tidak mampu mengungkapkan dalang pembunuhan Munir. Sebagai pintu masuk untuk membuka kembali temuan dan fakta kasus Munir, keluarga dan koalisi masyarakat sipil hingga hari ini berjuang mendesak pemerintah untuk mengungkap dokumen rekomendasi tim pencari fakta

            Penegakan hukum kasus Munir masih dilihat hanya sebagai pembunuhan biasa, padahal pembunuhan Munir ini bisa dibilang sebuah konspirasi pemufakatan jahat yang melibatkan unsur negara. Hal ini terbukti karena Badan Intelijen Negara (BIN) maupun PT Garuda Indonesia sebagai BUMN di Indonesia menjadi bagian dari operasi pembunuhan Munir. Ini akan menimbulkan kekhawatiran di kemudian hari karena kejahatan terhadap kemanusiaan yang melibatkan negara dampaknya akan berbahaya dan meluas jika dibiarkan tanpa penyelesaian. Pada kasus ini, masih ada pihak lain yang belum terungkap selain dari aktor lapangan karena ada indikasi yang kuat keterlibatan dari Badan Intelijen Negera (BIN). Terlihat dari adanya relasi dan komunikasi yang sangat intens antara Polycarpus, Muhdi Purwo Pranjono, dan Kantor Badan Intelijen Negara (BIN).

            Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus segera menetapkan kasus Munir ini sebagai kasus pelanggaran HAM berat agar bisa membongkar secara tuntas peristiwa ini. Tidak hanya menyasar pada aktor lapangan tetapi juga kepada aktor intelektual yang masih berkeliaran di sekitar kita. Di mana suatu saat bisa saja kembali melakukan tindakan kejahatannya terhadap orang-orang yang kritis akan kebijakan yang ada dan mengancam para pembela HAM. Penyelesaian kasus ini yang tak kunjung selesai akan berdampak terhadap demokrasi yang semakin sempit karena seorang Munir saja yang sangat hebat melakukan kinerja kemanusiaan di bunuh dan sampai hari ini kasusnya tidak diselesaikan oleh pemerintah. Itu mengakibatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi merosot.

            Komnas HAM seharusnya bisa menggunakan kewenangannya untuk menjawab harapan publik mengenai pengungkapan kasus ini, secara progresif dan menggunakan nalar hukum untuk kemanusiaan agar kasus ini bisa segera dituntaskan dengan adil. Bukan hanya untuk korban atau keluarga tetapi juga untuk kita semua, demokrasi, dan HAM di Indonesia.

Penyunting: Rismawati