Oleh: Astuti Siti Solhah

Beberapa pekan ini jagat maya diramaikan dengan tanggapan terhadap berita Polisi dan Satpol PP yang sedang sibuk memburu seniman mural dan penyebar selebaran bernada kritis yang dianggap melecehkan presiden. Namun, upaya pembungkaman oleh aparat ini justru membuat pesan mural dan selebaran malah semakin populer. Di Google saja kita bisa dengan mudah menemukan mural-mural itu lewat kata kunci ‘dipaksa sehat di negara yang sakit’ ‘Jokowi 404’, ‘Wabah Sebenarnya adalah Kelaparan’, dan masih ada yang lainnya. Pertanyaannya,  kok bisa gitu? Fenomena semacam ini disebut dengan Efek Streisand”. Efek Streisand adalah fenomena ketika upaya untuk menyembunyikan, menghapus, atau menyensor informasi malah membuat informasi tersebut tersebar lebih luas, yang biasanya dibantu oleh internet. Efek Streisand merupakan contoh reaktansi psikologis: Ketika masyarakat sadar bahwa ada informasi yang disembunyikan, mereka akan berusaha mengaksesnya dan menyebarkannya.

Nama efek ini diambil dari nama penyanyi asal Amerika Serikat. Pada tahun 2003, foto udara dari pantai California di mana rumah penyanyi Barbara Streisand terlihat diterbitkan di internet yang menunjukkan dampak erosi pantai. Aktris Amerika itu tak terima, lalu mengecam situs web dan fotografer Kenneth Adelman karena dianggap telah melanggar privasi dan menggugatnya senilai 50 juta dolar AS. Paradoksnya, perhatian media atas kasus itu justru membuat foto rumah streisand malah semakin populer. Foto yang sebelumnya hanya diunduh enam kali, setelah gugatan, jumlah unduhannya meningkat jadi 420.000 kali. Sejak fenomena itulah paradoks sensor semacam ini disebut dengan efek streisand.

Kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia, yakni kasus Megawati yang mendapat ujaran kebencian pada 2017 lalu. Abdi Edison, Ketua Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, melaporkan sineas dokumenter Dandhy Dwi Laksono ke Kepolisian Daerah Jatim. Dandhy dituduh telah menyebarkan ujaran kebencian kepada Megawati melalui tulisan Dandhy, yang membandingkan kegagalan Megawati dan Aung San Suu Kyi (Karena adanya kasus kekerasan pada masa kekuasaan Megawati).

Saat informasi mengenai kekerasan di era kekuasaan Megawati itu coba “dihentikan”, dalam hal ini dengan melaporkan Dandhy, efek yang terjadi malah sebaliknya karena banyak rakyat yang sepemikiran dengan Dandhy dan tidak setuju dengan langkah yang dilakukan aparatur kepolisian. Fenomena serupa lainnya pernah terjadi pada tahun 2020. Pada saat itu The New york Times menerbitkan artikel tentang dokumen pribadi yang diduga milik anak Joe Biden, Hunter Biden. Dalam dokumen itu, disebut kalau Hunter mengoleksi sejumlah konten seks pribadi.  Facebook dan Twitter lalu berusaha menyetop penyebaran artikel itu. Namun, upaya sensor di media sosial tersebut makin ramai dikunjungi. Ketika memberi tahu seseorang bahwa informasi ini dan itu tidak boleh dibagikan, hal itu menjadi bumerang bagi mereka dan justru memotivasi mereka untuk membagikannya sejauh dan seluas mungkin. Dengan kata lain, hal yang diperbolehkan adalah hambar dan hal yang merangsang rasa enak justru adalah apa-apa yang dilarang.

Masyarakat akan semakin terpancing untuk mengoreknya lebih dalam, apalagi jika hal-hal yang tidak dibolehkan itu relate dengan apa yang mereka alami. Selain malah terus menyebarluaskan, mereka pun akan terus merasa benar dan membela haknya. Seperti mural yang akhir-akhir ini sedang ramai, masyarakat semakin menyebarluaskan mural dan selebaran kertas tersebut. Bukan hanya karena efek streisand saja, tetapi mereka merasa mural yang dicoret dan selebaran kertas yang ditarik penyebarannya, isinya merupakan kritik atau bahkan fakta keadaan yang terjadi di negeri kita ini. Suara-suara mereka merasa terwakilkan dan aspirasi mereka merasa tersampaikan. Oleh karena itu, ketika tahu isi dari mural dan selebaran bernada kritik yang pembuatnya sedang diburu aparatur, masyarakat merasa terpanggil, emosinya terpancing, di mana letak demokrasi di negeri ini?

Masyarakat di sini menilai bahwasannya pemerintah tak mau dikritik tapi percuma tak dibarengi dengan solusi. Semakin ditekan, rakyat akan semakin melawan. Kepada aparatur, yakin masih ingin menindak para seniman mural dan penyebar selebaran?

Penyunting: Rini Trisa