Blok Wabu Papua, Surga Emas yang Menjadi Praktik ‘Mafia Swasta’

WhatsApp Image 2021 10 12 At 19.03.07

Oleh Rismawati

Blok Wabu merupakan suatu kawasan pegunungan yang berlokasi di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua, Indonesia. Pegunungannya bukanlah sembarang pegunungan, karena di bawah permukaan tanahnya terdapat kandungan emas, yang potensinya mengalahkan tambang Grasberg Freeport Indonesia. Tambang Grasberg Freeport merupakan tambang terbesar di dunia, yang berarti, Blok Wabu resmi mengalahkan potensi sang juara dunia. Fantastis, bukan?

Ternyata, Blok Wabu dulunya adalah bagian dari wilayah tambang Grasberg Freeport Indonesia yang telah setengah abad berkuasa. Namun, Blok Wabu masih suci dari tangan Negeri Paman Sam, karena hanya beberapa wilayah saja yang dikeruk habis-habisan oleh penguasa asing yang berlindung dibalik nama PT Freeport Indonesia (PTFI). Setengah abad sudah bongkahan emas, perak, dan tembaga Papua itu dinikmati oleh Amerika. Lalu, Indonesia dapat apa sih? Duh, gimana ya, wong kepemilikan sahamnya saja hanya 9,36%. Miris memang, tetapi itulah faktanya. Sebuah fakta yang menyulut kegeraman masyarakat, terutama pribumi di tanah Papua.

Setelah perdebatan dan negosiasi alot selama 3 tahun, pemerintah Indonesia akhirnya bersorak kala disepakatinya 51% akuisisi saham PTFI oleh pemerintah Indonesia pada 12 Juli 2018. Tak hanya menyepakati akuisisi saham saja alias menerima kembali surga emas yang seharusnya memang dimiliki Indonesia, tetapi juga secara resmi PTFI telah melepas sebagian wilayahnya, yakni Bagian B alias Blok Wabu. Sesuai UU (Undang-Undang) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, bahwa wilayah tambang emas yang telah dilepas asing harus dikembalikan pada negara. Namun, karena pelepasan Blok Wabu terjadi sebelum 2020, maka dipayungi dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa prioritas tambang akan diserahkan pada BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Jika keduanya tidak tertarik, barulah ditawarkan pada swasta atau asing. Proses penentuan siapa yang berhak mengelola pertambangan dilakukan dengan tender dan lelang secara transparan dan terbuka di Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral).

Masyarakat Indonesia, terutama warga Papua akhirnya bernapas lega menyambut kabar bahwa pada tahun 2020, BUMN siap menerima Blok Wabu dengan dua perusahaan yang tertarik, yaitu MIND ID dan PT Aneka Tambang Tbk (Persero). Namun, agaknya senyuman itu harus kembali luntur dan berganti keresahan, karena tiba-tiba muncul isu bahwa Blok Wabu telah dikuasai oleh perusahaan swasta. Perusahaan swasta tersebut adalah PT Madinah Qurrata’ain yang terhubung dengan PT Toba Bara Sejahtera. Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, mempertanyakan munculnya perusahaan swasta tersebut yang mengindikasikan adanya ketidaktransparanan Kementerian ESDM dalam tender, dan diduga menjadi ajang perebutan, serta permainan ‘mafia’. Berdasarkan data dari Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), PT Toba Bara Sejahtera ternyata terafiliasi dengan Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang memiliki saham di PT Toba Bara Sejahtera, sehingga diduga ikut ‘bermain’ dalam praktik ‘mafia swasta’ untuk menguasai kekayaan Blok Wabu.

Isu ini menjadi kontroversi dan dibahas di kanal Youtube aktivis sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, dan Koordinator KontraS, Fatia, hingga berujung pelaporan Luhut atas video tersebut yang diklaim telah mencemarkan nama baik. Namun, mari tinggalkan dahulu panasnya kontroversi Luhut vs Haris dan Fatia yang berlomba adu data, dan mari berfokus pada Blok Wabu yang tengah dikuasai ‘mafia swasta’. Mengingat pertanyaan urgensinya adalah ‘memangnya kenapa jika Blok Wabu dikuasai oleh swasta?’ Mari berangkat dari pernyataan dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­-besarnya kemakmuran rakyat,” jelas tertulis bahwa kekayaan alam harus dikuasai negara dengan tujuan untuk kemakmuran rakyatnya, dan jika para swasta yang menguasainya, maka lenyaplah tujuan itu hingga ke akarnya.

Percaya atau tidak, ‘mafia swasta’ tak memikirkan nasib masyarakat, terutama warga Papua yang seharusnya memiliki hak atas surga emasnya, karena orientasinya hanyalah keuntungan pribadi semata, kejamnya memang sudah seperti mafia. Blok Wabu, surga emas yang berpotensi menghasilkan Rp300 triliun per ton, nyatanya kembali menjadi bintang tak tergapai, bahkan para pribumi Papua merasa terusir dari tanah kelahirannya. Blok Wabu memang menyimpan banyak potensi, terutama emasnya yang diestimasi memiliki 8,1 juta troy ounce dengan rata-rata kadar emas 2,16 gram per ton. Mengalahkan emas dari Freeport yang hanya memiliki kadar emas 0,8 gram per ton. Ya, pantas saja banyak yang tergiur dan berlomba menguasainya, Blok Wabu memang definisi surga emas sesungguhnya. Namun, apalah artinya jika pada akhirnya harta karun dikuasai para ‘mafia swasta’ dan bukan untuk menyejahterakan rakyat kita?

Indonesia adalah negara yang kaya, nahas itu hanya sebatas ukiran tinta di atas kertas saja. Faktanya, Badan Pusat Statistika mencatat pada 15 Juli 2021 terdapat 27,54 juta penduduk Indonesia masih dinobatkan sebagai penduduk miskin yang jauh dari kata sejahtera. Andai saja sejak dulu tambang Grasberg PTFI tak dikuasai asing, maka surga emas Blok Wabu kini bisa dikuasai negara. Mungkin, berjuta-juta penduduk Indonesia tak akan merasakan sulitnya mencari pekerjaan dan anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan. Mungkin, rakyat Indonesia bisa merasakan apa arti sesungguhnya dari kesejahteraan, dan Indonesia bisa naik ke singgasana sebagai negara maju yang tak bisa diremehkan. Namun sayang, getir tak dapat disingkir, malang tak dapat dihalang, Indonesia kembali ‘kecolongan’.

Penyunting: Andini Primadani dan Pipit Saesariyanti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *