Siapa yang tidak pernah mendengar kasus korupsi yang melibatkan pejabat di Indonesia? Dalam beberapa tahun terakhir, kasus korupsi seolah menjadi rutinitas yang terus berulang dan semakin sering tersorot di media sosial maupun pemberitaan nasional. Berbagai skandal besar bermunculan, mulai dari kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, kasus Ekspor Minyak Sawit Mentah dengan nilai kerugian mencapai Rp12 triliun hingga kasus Jiwasraya yang mencatat kerugian sebesar Rp16,8 triliun.
Tidak berhenti di situ, tahun ini publik kembali disuguhkan dengan kasus-kasus baru yang menunjukkan betapa masifnya praktik korupsi di negeri ini. Salah satunya adalah kasus korupsi di tubuh Pertamina yang menelan kerugian negara sebesar Rp19,37 triliun. Belum selesai kasus tersebut diusut tuntas, muncul lagi skandal di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni dugaan suap Rp804 juta yang diterima oleh oknum pegawai negeri sipil demi mendukung bisnis keluarga yang dijalankan anaknya.
Ironisnya, berbagai kasus tersebut tidak lagi mengejutkan sebagian masyarakat. Kemarahan yang muncul di awal pemberitaan perlahan mereda, lalu digantikan oleh sikap apatis dan ketidakpedulian. Padahal, jika terus dibiarkan, praktik korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merampas hak-hak dasar masyarakat, seperti hak memperoleh pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang memadai, dan fasilitas publik yang berkualitas. Oleh karena itu, saat ini menjadi momen yang tepat bagi seluruh elemen masyarakat untuk berhenti bersikap masa bodoh terhadap isu korupsi. Berpikir korupsi hanya urusan para elite politik adalah kekeliruan yang harus segera dikoreksi. Sebab, dampak nyata dari korupsi sejatinya dirasakan langsung oleh masyarakat luas.
Korupsi bukan sekadar persoalan hukum atau pelanggaran administratif, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru mengalir ke kantong pribadi para oknum yang tidak bertanggung jawab. Ketika anggaran pendidikan dikorupsi, anak-anak di pelosok terpaksa belajar dengan fasilitas seadanya. Ketika dana kesehatan disalahgunakan, masyarakat miskin kesulitan mendapatkan layanan medis yang layak. Bahkan, pembangunan infrastruktur yang seharusnya mempermudah akses ekonomi rakyat kerap terbengkalai akibat dana yang dikorupsi.
Jika masyarakat terus bersikap masa bodoh, maka korupsi akan semakin mengakar dan merampas hak-hak rakyat secara sistematis. Kebiasaan membiarkan dan menganggap wajar praktik korupsi adalah bentuk pembiaran yang justru memperpanjang ketidakadilan di negeri ini. Sebaliknya, kepedulian dan keberanian masyarakat dalam bersuara adalah kunci utama dalam menekan laju korupsi. Semakin tinggi kesadaran kritis masyarakat, semakin sempit ruang gerak para koruptor untuk menjalankan aksinya.
Dampak buruk dari korupsi tidak hanya sekadar merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak reputasi Indonesia di mata dunia. Data dari Transparency International mencatat bahwa pada tahun 2024, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya berada di angka 34 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tergolong sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Posisi ini jelas memperburuk citra Indonesia di mata investor asing sehingga dapat menghambat masuknya investasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya memperburuk kesejahteraan rakyat.
Dampak lainnya terasa langsung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Korupsi di sektor pendidikan menyebabkan sekolah-sekolah kekurangan fasilitas belajar yang layak. Korupsi di bidang kesehatan mengakibatkan layanan medis yang seharusnya terjangkau justru menjadi mahal dan sulit diakses. Bahkan menurut riset Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tahun 2024, sebanyak 86% masyarakat di daerah terpencil merasakan langsung dampak buruk korupsi melalui buruknya kualitas pelayanan publik. Artinya, korupsi bukanlah persoalan elite semata, melainkan ancaman nyata yang merampas hak dasar setiap warga negara.
Pemberantasan korupsi tidak bisa semata-mata dibebankan kepada lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aparat kepolisian. Peran aktif masyarakat dalam mengawal kebijakan publik, mengkritisi penggunaan anggaran, serta melaporkan indikasi korupsi di lingkungan sekitar adalah bentuk partisipasi nyata yang mampu menciptakan tekanan sosial terhadap para pelaku korupsi. Di sisi lain, keberanian rakyat dalam bersuara juga menjadi ancaman nyata bagi mereka yang terbiasa hidup dari hasil korupsi. Ketika kesadaran kolektif tumbuh dan masyarakat bersatu dalam semangat antikorupsi, maka praktik korupsi tidak lagi memiliki tempat di negeri ini. Pada akhirnya, perlawanan terhadap korupsi tidak hanya menjadi tanggung jawab segelintir orang, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Di era digital ini, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan sebenarnya semakin mudah dilakukan. Media sosial dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif, baik untuk mengedukasi publik tentang bahaya korupsi maupun menggalang solidaritas untuk mengawal kasus-kasus yang mencuat. Penggunaan teknologi secara positif ini akan memperkuat transparansi dan mempersempit ruang gelap tempat korupsi biasa terjadi. Ketika warga negara aktif terlibat dalam politik, pemerintah tidak bisa lagi mengabaikan suara rakyat. Setiap kebijakan akan lebih pro-rakyat karena mereka sadar diawasi langsung oleh masyarakat. Keterbukaan dan akuntabilitas pemerintah pun meningkat, tanpa itu kepercayaan publik akan runtuh. Dengan masyarakat yang terus ikut mengawal jalannya pemerintahan, stabilitas politik akan terjaga dan konflik bisa ditekan sejak awal. Semua itu adalah kunci penting untuk memastikan negara kita terus berjalan maju, punya pemerintahan yang sehat, dan masa depan demokrasi yang kuat. Jadi, jika ingin negara yang benar-benar berpihak pada rakyat, kepedulian terhadap politik bukan sekadar hak, terapi juga tanggung jawab kita bersama.
Penulis : Berinda Cesilla Azwar
Penyunting : Syahla Zira Ridwan
Ilustrator : Adinda Aulia