Cerita Di Balik COVID-19 Di Ibu Kota

752ad081 C383 41fd Afa6 Fb119055bd4f

Siti, bayi dan gerobaknya. Siti (40 tahun) dan bayi yang ada dalam gendongannya, sembari mendorong gerobak menyusuri jalanan di ibu kota, Jakarta. Sudah 20 tahun Siti berada di Jakarta bersama sang suami, mengadu nasib dengan modal nekat. Namun, naas sang suami Tono, meninggal dunia di usianya yang ke 53 tahun, pada tanggal 20 Februari 2020 tepat 2 bulan silam.

            Di balik kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang diterapkan pemerintah di tengah pandemi COVID-19 ini. Terlihat Siti dan bayi yang digendongnya sedang rehat dari terik matahari, di pojok bangunan pinggir jalanan ibu kota sembari ditemani  gerobaknya.

Hal ini berawal ketika Siti dan Alm. sang suami, memutuskan untuk merantau ke ibu kota. Bukan dengan sengaja, sebab pasalnya mereka merantau dengan menaruh asa untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, semua tak berjalan indah. Bagi mereka ibu kota memanglah lebih kejam daripada ibu tiri, Alm. Pak Tono dan Ibu Siti tanpa ijazah dan tak bermodalkan skill (keterampilan) hidup luntang-lantung di ibu kota selama bertahun-tahun. Jangankan rumah, untuk makan sehari-hari saja masih kewalahan.

Menjadi pemulung, berusaha mengumpulkan uang untuk bisa pulang kampung sebab rindu kampung halaman. Menjadikan gerobak sebagai rumah mereka bukanlah perkara yang mudah. Istilahnya hidup nomaden, setiap malam tiba kadang tinggal di depan ruko, itupun jika sang pemilik ruko mengizinkan. Namun, tak jarang diusir oleh sang pemilik ruko. Tak jarang juga meneduh di bawah kolong jembatan untuk sekadar istirahat.

Hal itu dulu sebelum sang suami meninggal. Namun, kini yang ada tinggalah Siti dan bayinya yang berusia 4 bulan, tak lupa gerobak Siti. Hidup terlihat semakin menyusahkan ibu dan anak ini lantaran pandemi yang sedang terjadi.

***

Kicauan burung setelah sekian lama kini terdengar kembali. Semua berubah semenjak lahirnya makhluk kecil yang bernama COVID-19 ke muka bumi ini. Kehadirannya menggegerkan seluruh dunia, mulai dari yang miskin hingga yang kaya. Siti dan bayi dalam pelukannya yang tengah tertidur lelap di bawah kolong jembatan dengan gerobaknya. Siti perlahan membuka mata sebab dipaksa harus melihat dunia yang menurutnya kejam ini. Sinar matahari mulai menerangi kolong jembatan, tempat ibu dan anak ini tinggal.

Quarantine self (karantina mandiri) memang sudah seharusnya dilakukan untuk mencegah penyebaran virus ini. Bagi sebagian orang, masa seperti ini adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga atau yang bisa disebut #dirumahaja, menyetok makanan, berkerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Nyatanya hal ini tak sama bagi Siti dan bayinya, hidup dengan gerobak, dan tidur di mana saja selagi ada tempat untuk mereka tidur, entah itu di kolong jembatan, di depan ruko, di pinggir rel kereta… aahh entahlah asalkan bisa tidur.

Baginya sama saja tak punya rumah, bagaimana mau mengarantina diri atau diam #dirumahaja. Memanglah kondisi ini membuatnya semakin sulit untuk hidup di ibu kota, hari yang mereka lalui hanyalah bertahan hidup, ya  bertahan hidup dari kerasnya dunia ini.

Hidup luntang-lantung, tiap pagi mencari makan. Tak jarang ia memulung sampah sembari menggendong bayi dan mendorong gerobaknya. Dari hasil memulunglah setidaknya berharap untuk kelangsungan hidup bayi dan dirinya. Untuk membeli kebutuhan bayinya, aahh sudahlah aku tak sanggup membayangkan kehidupan mereka. Terkadang aku heran, mengapa mereka masih bisa bertahan hidup dengan kondisi saat ini. Tapi yang seperti itulah… lihat! Betapa sayangnya Tuhan kepada makhluknya, cobalah tuk lihat dari sisi yang berbeda tentang kehidupan Siti dan bayinya ini.

***

Pagi hari, lagi- lagi… Siti dan bayi dalam gendongannya sembari mendorong gerobak, menyusuri jalanan ibu kota yang mulai terlihat sepi mencari penghidupan, sesekali jika lelah mereka berteduh. Terlihat jelas dari raut wajahnya, penuh gelisah… “Akankah kami bisa bertahan hidup di kondisi seperti ini? Di sisi lain harus mencari makan, dan di sisi lain ada bahaya COVID-19 di luar sini…” pikir Siti.

“Oaaaa… oaaa… oaaa…” suara tangisan bayi Siti. Menjerit keras dan semakin keras.. “Sabar ya nak… “ ucap Siti. Suara nya gemetar, penuh gelisah dan kesedihan. Bagaimana tidak bayi 4 bulan yang seharusnya banyak asupan nutrisi, tapi untuk makan sang ibu sendiri saja masih kewalahan. Keadaan fisik Siti dan bayinya yang dekil, kurus dan hidup tak layak. Hidup di tempat yang kumuh memang tak layak untuk bayi tapi bagaimana lagi.

Bayi yang seharusnya hidup di tempat yang bersih, mendapat asupan nutrisi yang cukup, pakaian yang bersih dan kelayakan hidup lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan bayi Siti, pakaian kotor, tinggal di tempat yang kumuh penuh sampah dan tak bersih, tak cukup asupan nutrisi.

“Sungguh malang nasibmu nak… ibu takut kau akan mati kelaparan, kekurangan gizi, atau malah kita terinfeksi virus jahat yang sedang berkeliaran di luar sini…“ pikir Siti. Tak lama pandangannya tertuju pada toko kebutuhan makanan. Ia memandang toko itu cukup lama, entah apa yang dipikirkan, “Andai ibu punya uang, kan ibu belikan kau susu nak, membeli sayur, buah-buahan, kebutuhan kita agar kita hidup layak…” gumam Siti.

Matanya mulai meneteskan air mata, bibir nya bergetar, raut mukanya penuh kesedihan dan kegelisahan. “Ini tentang hidup dan mati! Biarlah ibumu ini mati di  sini, entah karena kelaparan, penyakit, atau apalah itu… tapi kau tak boleh seperti ibumu ini nak, kau harus selamat! Bagaimanapun ibu kan berusaha tuk selamatkan hidupmu…” ucap Siti dalam hati, sembari meneteskan air mata dan menatap bayinya.

Siti beranjak, meletakkan bayinya di dalam kardus dan ia letakan di gerobaknya. Tak lama, ia pun mulai bergegas mendorong gerobaknya menuju salah satu perumahan di ibu kota. Entah apa yang dipikirkan ibu bayi ini. Bayi dalam kardus itu, ia letakkan di depan gerbang salah satu rumah di perumahan itu.

Tangannya gemetar disaat meletakan bayinya, air matanya mulai menetas. “Braaaakkk…!“ Suara pintu dari rumah itu. Ia pun bergegas mendorong gerobaknya dan mulai bersembunyi, meninggalkan rumah itu. Namun, dari kejauhan Siti tetap mengawasi rumah itu, memastikan sampai bayinya benar-benar berada di tangan orang yang baik. Namun sayang….

Terlihat pria berotot membawa kantong plastik hitam besar, keluar rumah tuk sekadar membuang sampah. Ia melihat ada bayi dalam kardus di depan gerbang rumahnya itu. ”Siapa yang membuang bayi ini di depan rumahku?” pikir pria berotot itu. “Jangan–jangan bayi ini sudah terinfeksi Corona lagi…” lanjut pria berotot sambil mengerutkan dahi. Tak lama ia pun tak peduli dengan bayi itu, dengan muka penuh acuh ia kembali ke rumahnya dan meninggalkan bayi malang itu sendirian.

Siti, sang ibu pun berlari kencang menghampiri bayinya, lagi-lagi ia menangis sambil menggendong bayinya. Ia pun tak putus asa, kembali mendorong gerobaknya sembari menggendong bayinya. Berjalan keluar dari perumahan itu, menuju pemukiman warga. Ia melihat rumah sederhana namun asri dan layak huni lalu kembali meletakkan bayinya dalam kardus, dan ia simpan di depan gerbang rumah asri itu. Ia pun kembali bersembunyi, sembari membawa gerobaknya menjauhi rumah itu.

“Oaaaa… oaaa… oaaa…” bayi Siti menangis keras. Air mata Siti mulai menetes melihat bayinya. Tak lama seorang nenek yang terlihat sehat itu, keluar rumah karena suara bayi yang ia dengar. Nenek itu bergegas menghampiri bayi Siti, ia iba melihatnya. Air mata nenek itu kini mulai menetes, jatuh hati dan langsung menyukai bayi itu tanpa berpikir panjang, ia langsung membawanya ke rumah.

Suara orang-orang mulai terdengar dari dalam rumah itu, terdengar pemilik rumah memang sudah menerima bayi itu. Siti kembali meneteskan air mata, namun air mata yang keluar adalah air mata kebahagiaan. Raut wajah Siti kini berkata lain dari biasanya, ia tersenyum bahagia benar-benar bahagia… setidaknya ia sudah merasa lega bayinya berada di tangan yang tepat.

Penulis: Dhevi Laela F

Penyunting: Ghina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *