Cerita di Bawah Langit–langit

5601cd70 751a 4450 B6b6 162f030fad9a

Oleh, Pulpen Standar

Mungkin,

Kita sudah terlalu tuli saat di luar

Hingga suara dari dalam tak kita dengar

Mungkin,

Senja sudah membuat kita buta

Untuk melihat sebuah bangunan

Dengan ruang tak kedap suara

Dibangun dengan cinta

Yang kita sebut rumah

Mungkin,

Lantai, dinding, dan kursi di sini

Sudah merindu cukup dalam

Dengan kehidupan dan cerita dari luar

Mungkin,

Sekarang waktunya kita untuk

Bercerita kepada dinding, lantai, dan

Langit-langit tentang rindunya kita berjalan

Ke luar dengan ramai dan damai

Pertama, aku jadi teringat percakapan antara Dumbledore dengan Harry saat mereka berbincang mengenai horcrux. Dalam  buku  The Deathly Hallows part I karya sang maestro J.K Rowling itu, diceritakan bahwa Dumbledore memilih mati dengan rencananya sendiri, Saat mengetahui Malfoy merencanakan pembunuhan di kantor Dumbledore. Ia menyadari bahwa hidupnya tidak akan lama. Maka pada suatu malam, Dumbledore menyuruh Professor Snape untuk mengangkat kutukan dari cincin. Lalu, ia komat-kamit merapal mantra yang mematikan dan ditembakkan mantra tersebut pada cincin yang melingkar di tangan kanannya. Lalu, Professor Snape berjanji akan melakukan semua keinginan Dumbledore termasuk membunuh seorang ahli sihir dari sekolah Hogwarts.

Dari cerita ini Dumbledore menyadarkanku akan kehidupan kita yang berada pada tangan kita sendiri. Untuk mati pun, kalau kau mau mati konyol silakan kau berkendara dengan kecepatan maksimum di jalanan macet ibu kota. Kalau tidak bertemu dengan Alphard atau BMW di jidat motormu mungkin kau bertemu kendaraan roda 16 yang sedang membawa mobil baru keluaran pabrik. Jika kau mau mati dengan terhormat, mulailah dengan merajut kemenanganmu sendiri! Berjuang dengan semua usahamu selagi menunggu ruang kematian itu datang. Mati itu pasti, tapi bahagia dan cara kita hidup itu pilihan.

Saat ini kita berada di fase sang introvert adalah pemenangnya. Bagaimana tidak? Hari kemarin, sang introvert memaksakan dirinya keluar untuk kuliah, bekerja, atau berbelanja. Tentunya, hari biasa itu banyak sekali promo-promo cashless yang dapat membuat kantong kita bertahan lebih lama dari biasanya, makanya bela-belain belanja buat scan non-tunai di kasir. Hari biasa kemarin, si introvert harus keluar walau hanya sekadar untuk mengumpulkan tugas saat dosen tidak datang ke kampus atau hanya untuk mengisi daftar hadir. Lalu sekarang bagaimana? Merdekalah introvert, dan bagi extrovert selamat menjalani masa transisi, hehe. Sekarang, semua kegiatan kita lakukan di rumah. Kuliah, kerja, nonton, rebahan, ngopi-ngopi, semua kita lakuin di rumah dan kongkow bareng lewat gawai. Lagi, aku merasa seperti hama. Saat masuk transportasi umum aku disemprot, keluar transportasi juga disemprot, baru sampai tempat tujuan, disuruh mempercepat jalan dan tidak boleh mangkir kalau ada pemeriksaan. Ahh ribet.

Dan Inilah yang kusebut, biasa kita melihat langit tapi sekarang menjadi langit-langit. Ya sebetulnya masih bisa sih kita melihat langit di luar tapi ada rasa cemas yang mengganggu saat melangkahkan kaki keluar. Bukan hanya rasa cemas saja, namun rasa malas pun sepertinya mulai menghantui. Peraturan–peraturan PSBB yang berlaku mulai dari pakai masker, bawa handsanitizer, tidak boleh boncengan di motor, kecuali satu alamat di kartu identitas, tidak boleh duduk bersampingan di mobil, jaga jarak saat mengantri, pusat perbelanjaan tutup, yang buka hanya farmasi, makanan, dan supermarket. Belum sampai situ, sesampainya di rumah kita harus  ganti baju. Semakin sering ke luar, semakin menumpuk bukan cucian kita? Itu dia yang membuatku malas bepergian. Akhirnya, sekarang mayoritas lebih memilih belanja juga lewat smartphone. Tinggal klik, tunggu, dan bayar.

Entah sudah hari ke berapa dari masa karantina ini, aku sudah banyak mendengar cerita dari temannya langit-langit kamarku. Cerita pertama dari si Pekerja yang WFH atau work from home yang mulai jenuh. Karena biasanya di kantornya banyak penghilang bosan seperti permainan pump it up, atau bola tangan, atau sekadar ber-gibah ria membicarakan pohon-pohon yang menangis karena populasinya menurun. Tapi sekarang yang dia lakukan di tempatnya hanya berbicara dengan komputernya, gawainya, dan yaaa sesekali bertemu rekan pun itu melalui jejaring sosial. Si Pekerja juga rindu dengan ramai dan sesaknya busway, kereta KRL, dan macetnya lampu merah diisi oleh pengendara motor berseragam hijau. Dan dia rindu makan siang ditemani teriknya matahari.

Cerita kedua datang dari pasangan yang belum bisa hang out bareng sejak peraturan PSBB diberlakukan. Si pasangan rindu untuk nonton bareng, bermain ular tangga hanya untuk menentukan pemenang dari permainan yang bebas dari pembayaran makan siang. Langit-langit tetanggaku juga mendengar, kalau si puan dari pasangan ini mulai sering marah-marah sendiri, cepat turun mood-nya, dan menyaka hal-hal negative kepada pasangannya. Tapi, katanya pasangannya itu sedang kongkow Bersama temannya lewat permainan online pubg. Tapi si puan mulai heran, biasanya kalau bermain pubg itu tidak lama seperti saat ini, maka dari itu dia marah-marah. Mendengar pembelaan dari si cowok, langit-langitku kembali memberi tahu bahwa si cowok ini setelah pubg selesai, dia beralih ke freefire, se-selesainya itu beralih lagi ke ML (Mobile Legend). Yaaa padahal, sebelumnya si cowok ini hanya bermain pubg saja, tapi sekarang dia mulai kehabisan topik pembicaraan saat di telepon. Tidak tahu pertanyaan apalagi yang harus ditanyakan saat di ruang chat, tidak tahu harus apalagi saat tidak ada cerita selain kegiatan yang ini itu saja dilakukan di rumah. Si pasangan rindu untuk bercanda bersampingan, yang sesekali memainkan rambut pasangannya. Mereka rindu berjalan sambil bercerita bagaimana keadaan flu sang gajah hari ini.

Cerita ketiga, yang menjadi cerita terakhir dari bagian pertama ini datang dari pelepas seragam putih abu-abu. Langit-langit yang bercerita ini jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya berjarak empat ke kanan, belok kiri, dan ada sekitar tujuh rumah lagi dari belokan itu. Puan akhir SMA ini jenuh, bosan, tidak ada kerjaan, tidak ada hiburan, tidak ada teman bicara, selain langit-langit kamarnya, dan yaaa tentu dia sedang merindu. Walaupun, awalnya dia rasa sangat senang untuk melakukan ujian dari rumah sambil bekerjasama dengan temannya yang membuat nilai dia besar menjadi kemungkinan yang terbesar. Awalnya dia senang, karena tidak akan bangun pagi lagi untuk mandi, berseragam, dan berangkat ke sekolah. Awalnya dia senang, karena tidak akan dimarahi lagi oleh guru saat dia telat masuk, tidak dimarahi saat tidak mengerjakan pekerjaan rumah, dan tidak akan mengantuk bosan mendengar ceramah sang guru dari jam pagi sampai sore. Tapi sekarang, dia rindu. Semua yang dia kira awalnya akan berlangsung senang ternyata sekarang tidak sesenang itu. Dia rindu semua hal yang ada di sekolah. Bahkan tentang ujian pun dia rindu untuk merasakan gemetar, detak jantung berdegup kencang, nervous, dan takut kalau yang dipelajarinya semalam akan berbeda dengan tulisan di atas kertas ujian hari itu. Terlebih, harusnya sekarang menjadi musim pentas seni yang tak jarang menjadi ajang adu gengsi tiap sekolah untuk berbagi cerita anak SMA dan anak SMK.

Kemaren sekolah gue ngundang Raisa, gila cantik banget,” kata anak SMA.

“Seruan di sekolah gue-lah joget-joget reggae, apaan sekolah lu bisa ngundang Raisa juga karena open gate.” Balas si anak SMK yang tak mau kalah.

Ahh itulah yang membuat dia rindu, dan yang sangat disayangkan olehnya adalah hari pelepasan di upacara terakhir sekolah. Semua siswa dari kelas 10 dan 11 memegang satu balon terbang yang dicoret harapan, dan kelas 12 biasanya dapet dua atau tiga balon untuk mengutarakan pesannya itu. Sekarang semua itu tidak ada, deg-degannya ujian, joget-joget pensi, dan balon–balon upacara terakhir. Dia rindu masa akhir di catatan putih abu-abunya.

Kata John Steinbeck dalam buku East of Eden-nya, hidup ini seperti musik. Walaupun mungkin bukan musik yang bagus, tapi tetap mempunyai bentuk dan irama. Semua cerita dari langit-langit ku hari ini mungkin terdengar suck atau kita sendiri juga sedang merasa bosan dengan semua ini. Tapi, semuanya tetap memiliki bentuk dan irama. Si pekerja, si pasangan, dan puan akhir putih abu–abu itu walaupun bosan dengan kegiatannya sekarang, tapi mereka bisa lebih sering bercanda, bercerita, dan merajut keramaian dalam rumah. Membantu mamah, melihat pekerjaan papah, membantu pekerjaan rumah adik, nonton drama Netflix, dan bengong–bengong maen HP di ruang tamu. Menjadi rajutan baru dalam keadaan bersama yang biasanya penuh hanya saat malam dan sekarang setiap sahur, buka puasa, dan tarawih berjamaah.

Dan tahukan kamu? Kalau rajutan itu tidak akan terasa hangat sampai kau benar-benar merasakan dan merajutnya bersama. Badai pasti berlalu akan ada pelangi setelah ini, langit-langit rumah juga tak kalah indahnya dari langit di luar. Nikmati semuanya dan dengarkan cerita dari dalam. Jika perlu, aku akan bercerita lagi di bagian keduanya untuk memberitahu kisah lain dari si rantau yang tak bisa pulang, si mahasiswa yang tertumpuk tugas dan cerita-cerita lain yang kudengar dari langit-langit kamar dan temannya langit-langitku.

Penyunting: Muslimatul Hajar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *