Dunia jurnalis kembali digemparkan dengan kasus kekerasan terhadap wartawan Tempo, Nurhadi, pada 27 Maret 2021 lalu. Penyekapan dan kekerasan diterima Nurhadi saat menjalankan penugasan dari redaksi Tempo di Surabaya, untuk mewawancarai tersangka kasus korupsi pajak, Angin Prayitno Aji. Menurut keterangan pemimpin redaksi majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika, kejadian ini terjadi di Gedung Graha Samudra Bumimoro, kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut Surabaya. Saat itu pula di sana sedang berlangsung acara pernikahan anak dari Angin Prayitno Aji.
Hal ini bermula dari pengawal Angin Prayitno Aji yang menuduh Nurhadi memasuki acara pernikahan anak Angin Prayitno Aji tanpa izin. Nurhadi sudah menjelaskan bahwa dirinya merupakan wartawan Tempo yang sedang menjalankan tugasnya sebagai jurnalis, namun mereka tetap merampas telepon genggam Nurhadi dan menghapus isi telepon genggam serta mematahkan kartunya. Tidak berhenti di sana, Nurhadi mendapatkan kekerasan fisik berupa tamparan, pukulan, pitingan, serta penahanan di sebuah hotel di Surabaya selama dua jam. Pelaku juga menawarkan uang sebesar 600 ribu rupiah sebagai uang tutup mulut yang ditolak Nurhadi dengan tegas.
Dilansir dari Advokasi AJI atau Aliansi Jurnalis Independen, bahwa pada Maret 2021 telah terjadi kekerasan terhadap jurnalis sebanyak tiga kali, salah satunya terjadi pada tanggal 11 Maret 2021. Pada saat itu, Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, Moh. Yasin Payapo, melarang tiga jurnalis untuk melakukan peliputan di kantornya. Bupati SBB tidak memperbolehkan segala bentuk aktivitas jurnalis di daerah kantor Bupati. Ketiga jurnalis yang dimaksud yaitu Yasmin Balli (Malukunews.com), Yionli (Terasmaluku.com) dan Moses Rutumalesi (Nusaelaknews.com).
Setelah kejadian tersebut, berselang dua hari seorang jurnalis Liputan6.com, Akbar Fua mengalami doxing pada saat bertugas di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara setelah menulis sebuah berita yang berjudul “Mencari Keadilan, Ratusan Orang Duduki Polres Konawe Sambil Pamer Parang”.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap jurnalis meningkat pada tahun 2020 dibanding tahun sebelumnya sebesar 32%. LBH Pers mencatat bahwa pada tahun 2020 terjadi kasus kekerasan sebanyak 117 kasus. Dari 117 kasus tersebut, sebanyak 99 kasus yang terjadi pada jurnalis, 12 kasus pada mahasiswa, serta 6 kasus pada media, terutama terjadi pada media siber.
Sedangkan berdasarkan pada data Advokasi AJI, bahwa sejak 2006 telah terjadi kasus kekerasan terhadap jurnalis 848 kali, dengan persentase terbanyak terjadi pada 2020. Sebanyak 258 kasus merupakan kekerasan fisik, pengusiran atau pelarangan liputan 92 kasus, 77 ancaman teror, 58 perusakan, dan 41 ancaman kekerasan. Sedangkan, untuk pelaku kekerasan terhadap jurnalis terbanyak dari massa dan polisi yaitu sebanyak 60 kali, tidak memiliki identitas yang jelas sebanyak 36 kali, dan orang tidak dikenal sebanyak 17 kali, serta kota yang terbanyak untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah Jakarta dengan 60 kasus.
Seperti pada tahun 2019, kasus kekerasan terhadap jurnalis paling banyak dilakukan oleh aparat kepolisian yang melakukan pengamanan aksi unjuk rasa, hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman aparat kepolisian mengenai hukum terkait perlindungan jurnalis. Mengutip dari perkataan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, Ade Wahyudi, bahwa, “(Pemahaman) hanya pada level atas tapi tidak (dengan) polisi di lapangan. Kalau kita diskusi tingkat Kanit ke atas atau Kasubdit dia paham.”
Berdasarkan fakta dan data tersebut, saya berasumsi bahwa peristiwa ini akan terus terulang kembali. Apabila pemahaman mengenai aturan hukum terkait perlindungan jurnalis tidak sampai pada seluruh lapisan masyarakat, terutama aparat kepolisian yang tentunya akan sering berkomunikasi langsung dengan jurnalis. Sementara menurut Undang-undang tentang Pers No. 40 Tahun 1999, segala bentuk tindakan atau upaya dalam menghalangi pelaksanaan kerja jurnalis bisa dipidana dengan pidana penjara atau denda.
Menurut survei AJI Jakarta yang dilakukan pada Agustus 2020 serta diikuti oleh 34 jurnalis dari berbagai kota, mengungkapkan bahwa kekerasan yang diterima oleh jurnalis tidak hanya kekerasan secara fisik saja tetapi kekerasan seksual. Sebanyak 15 responden menjawab mengalami pelecehan saat liputan, bentuknya bermacam-macam mulai dari catcalling, perkosaan, disentuh/dipegang, sampai dikirimi pesan seksual. Tindakan-tindakan tersebut juga melanggar Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil dan Politik serta Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Pengimplementasi Hak Asasi Manusia.
Sebagai negara yang demokratis, pers dan segala bentuk kegiatan jurnalistiknya menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Merupakan hak seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh informasi yang sebenar-benarnya serta menyampaikan segala bentuk aspirasi melalui media pers dan jurnalistik. Namun apa jadinya jika segala bentuk kegiatan pers dan jurnalistik yang seharusnya menjadi wahana komunikasi massa, menjadi ancaman bagi seluruh jurnalis? Dalam hal ini, negara mempunyai kewajiban memastikan tegaknya prinsip kemerdekaan pers di Indonesia yang di dalamnya termasuk melindungi keselamatan jurnalis untuk menjalankan seluruh kegiatan jurnalistik. Penegakan hukum sudah sepatutnya di laksanakan dengan seadil-adilnya, sehingga menimbulkan efek jera dengan harapan kekerasan terhadap jurnalis tidak terulang kembali.
Penulis: Tiara Gusti Pangestu
Penyunting: Wiku R, Hanifa