Fenomena FOMO dan Generasi Z

Sumber Foto JohnGemercik Media 1 3

Dering nada yang selalu aktif menyala. Seakan tidak pernah habis bersuara. Melihat layar kaca seakan menjadi makanan pokok yang harus terus ada. Kala redup terasa sunyi dan hampa. Namun, ketika menyala, dunia terasa ikut berjalan beriringan. Layar kaca itu seakan menyelimuti seluruh umat manusia.

Berkembangnya teknologi memudahkan manusia menerima banyak informasi. Tidak ada ruang dan waktu di dalamnya. Saat ini, manusia tidak dapat menjalankan kehidupan sehari-hari tanpa memanfaatkan perkembangan teknologi. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh masyarakat menjadikan dunia teknologi makin lama makin canggih. Kini dengan teknologi, segalanya menjadi sangat cepat dan seakan tanpa jarak.

Hidup di zaman yang serba modern dan canggih ini, diperlukan pengetahuan yang mumpuni. Pengetahuan tidak hanya sebatas informasi, tetapi juga bagaimana menggunakannya dengan bijak. Mengatur pola dalam penggunaan media sosial menjadi hal yang perlu diperhatikan. Sebaran informasi tidak jelas kebenaran atau sumbernya kerap beredar. Beredarnya konten yang mengandung isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), pornografi, dan kekerasan yang tidak layak tonton, silih berganti muncul dalam tren. Hal-hal semacam inilah yang akhirnya mengakibatkan media sosial menjadi wadah atau platform yang kurang berguna.

Media sosial harus digunakan untuk membawa kebaikan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang baik dan bermanfaat, serta menciptakan ketenteraman di masyarakat. Akses internet yang mudah membuat pengguna media sosial ingin terlihat update sesuai tren yang sedang berkembang. Dari kebiasaan tersebut, muncul suatu kebiasaan yang berpengaruh buruk bagi seseorang yang terdampak, yaitu Fear Of Missing Out (FOMO).

FOMO adalah kondisi psikologis yang memicu perasaan cemas, takut, dan tertinggalnya suatu informasi, peristiwa, ataupun pengalaman yang dianggapnya penting. Fenomena psikologis ini terjadi akibat pengaruh media sosial dan internet. Rasa takut itu muncul karena persepsi bahwa orang lain selalu bersenang-senang, sementara diri sendiri tertinggal, memicu kecemasan dan rasa rendah diri. Jutaan informasi, mudah diakses dan instan, memicu perbandingan sosial yang tak sehat.

Dunia ini penuh dengan kelebihan dan kekurangannya. Kunci kebahagiaan terletak pada kepedulian terhadap diri sendiri, bukan mengikuti tren tanpa henti. Prinsip yang kuat dan teguh menjadi benteng dari godaan FOMO. Terus menerus membandingkan apa yang tidak dimiliki dengan milik orang lain hanya akan menggerogoti kepuasan hidup.

Merujuk pada hal-hal mengenai FOMO tersebut, penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang yang mengalami FOMO adalah Gen Z, generasi yang lebih banyak menghabiskan waktu berselancar di media sosial. Hal itu menjadi penyebab generasi ini merasa tertinggal di dunia saat itu juga jika tidak mengikuti hal yang sedang ramai dibicarakan.

Terdapat beberapa tips untuk mengatasi FOMO pada remaja, di antaranya melakukan journaling, mencari kegiatan positif lainnya, mengumpulkan bersama teman, mengembangkan hobi, menikmati setiap proses kegiatan yang tengah dilakukan, dan membangun pemikiran positif, seperti semua yang dilakukan adalah sebuah peluang masing-masing manusia, bukanlah suatu kewajiban yang perlu untuk selalu diikuti. Ada beberapa pendapat teman kami yang tentunya Gen Z mengenai FOMO. Kami bertanya kepada Arnita Merlina mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Siliwangi, perihal penting tidaknya FOMO itu sendiri. Arnita mengungkapkan dirinya FOMO terhadap hal-hal yang sekiranya penting, tergantung konteksnya. Bermula dari rasa penasaran, hingga akhirnya harus bisa membedakan mana yang baik dan benar.

“Maksud penting di sini perlu diketahui terlebih dahulu konteksnya. Apabila membicarakan penting untuk mengetahui makna dari FOMO agar terhindar dari setiap dampak negatifnya. Tentu jawabannya menjadi penting,” jelas Arnita.

Selanjutnya, kami bertanya mengenai faktor yang menyebabkan dirinya FOMO. Penasaran kepada sembarang hal, takut ketinggalan sesuatu yang sedang trending dan tidak memiliki prinsip. Beberapa hal tersebut yang Arnita katakan merupakan faktor penyebab dirinya FOMO.

“Seperti kebanyakan orang di sekitar saya, saya sering dilanda rasa penasaran terhadap sembarang hal, takut ketinggalan sesuatu yang sedang trending, dan tidak memiliki prinsip,” ujar Arnita.

Menurut Arnita, perasaan yang muncul setelah dirinya FOMO adalah rasa puas karena bisa mengikuti hal tersebut sepenuhnya. Namun, sering kali dia tidak merasa FOMO apabila konteksnya tidak sesuai dengan kehidupannya, sehingga membuat Arnita merasa biasa saja jika sedang ada tren yang hangat.

Arnita juga mengatakan bahwa seseorang hanya perlu ‘pintar’ untuk bisa membedakan FOMO yang baik dan benar, serta apakah memiliki kesinambungan yang sama dengan kehidupan. Jadi, bukan hanya sekadar ikut-ikutan.

Terakhir, Arnita mengungkapkan mengenai kekurangan dan kelebihan saat dirinya FOMO serta bagaimana membuat FOMO bisa membawa kita menuju kebahagiaan.

“Sebenarnya FOMO ini mempunyai banyak kekurangan dan kelebihannya, seseorang hanya perlu pintar membedakan bagaimana FOMO terhadap hal yang benar atau tidak. Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan FOMO terhadap hal yang sesuai dengan hal baik yang divalidasi semua orang dan terus konsisten menjalankannya, bisa membawamu kepada kebahagiaan,” ungkap Arnita.

Dengan pemahaman yang lebih baik, langkah-langkah dapat diambil untuk membantu individu mengatasi dampak negatifnya. Konformitas dan FOMO dapat memengaruhi proses ini dengan memengaruhi cara individu membentuk identitas dan mengekspresikan diri. Penelitian dapat memberikan wawasan tentang bagaimana konformitas dan FOMO memengaruhi perkembangan identitas remaja Gen Z. Keterkaitan antara konformitas dan FOMO dengan masalah kesehatan mental, seperti kecemasan sosial, rendahnya harga diri, dan depresi perlu diteliti lebih lanjut.

Penelitian dapat membantu mengidentifikasi faktor risiko dan melihat bagaimana intervensi dan dukungan dapat membantu remaja mengelola kesehatan mental mereka. Pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara konformitas dan FOMO dapat membantu pendidik, orang tua, dan pihak yang terkait dalam merancang pendekatan pendidikan dan kebijakan yang lebih efektif. Melalui penelitian, dapat dikembangkan strategi dan sumber daya yang bertujuan untuk membantu Gen Z dalam mengelola konformitas dan FOMO secara baik. Perlu diingat juga, konformitas yang tinggi dapat mengakibatkan individu mengorbankan ekspresi diri dan identitas pribadi.

Dikarenakan tak mau ketinggalan, sebagian orang akhirnya mengunggah kehidupannya ke media sosial berupa postingan-postingan mengenai kehidupan pribadinya, kehidupan sehari-hari, konser, liburan, dance, dan sebagainya, seperti yang sedang tren pada saat itu. Ketika mereka tertinggal, maka mereka cenderung merasa ada yang salah dalam hidupnya, padahal tidak ada hal menarik yang bisa diunggah atau tidak terdapat ide yang akan ditampilkan.

Tak sedikit kelebihan yang dimiliki, tetapi harus tetap bisa dicerna dengan baik. FOMO mampu berperan untuk mendorong manusia berperan lebih aktif, baik individu ataupun bermasyarakat. Bukan hanya itu, FOMO juga dapat memotivasi seseorang untuk mengikuti perkembangan terkini sehingga mampu menciptakan minat baru.

Kelebihan tak luput dari kekurangan yang tak bisa dihindarkan. Fenomena ini tak lepas kaitannya dengan perkembangan teknologi. Hal ini mampu merenggangkan hubungan antar sesama dan menimbulkan kesenjangan sosial. Saat ini, citra dan fakta sulit dibedakan, mengingat semua yang terjadi bisa diunggah dengan mudah dalam media sosial. Terlepas dari keinginan mengikuti tren, FOMO dapat menyebabkan stres, cemas, dan mengabaikan kepentingan pribadi agar tak merasa ketinggalan.

Fenomena FOMO pada remaja ini berhubungan erat dengan perasaan yang selalu ingin terlibat dalam segala hal yang menyenangkan atau bahkan ingin diakui dan mengejar eksistensi. FOMO dapat menyebabkan dampak negatif, di antaranya adalah rasa tidak aman, bertindak impulsif, dan dapat mengganggu produktivitas.

Kecenderungan orang-orang yang mengalami FOMO, selain takut kehilangan momen, juga berimbas pada tindakan membandingkan diri sendiri dengan apa pun yang diposting orang lain di media sosial. Kita seakan tak lepas dari bayang-bayang yang selalu mengikuti dari belakang.

Meskipun begitu, FOMO tidak hanya berdampak negatif, tetapi juga bisa berdampak positif. FOMO bisa dijadikan sebagai alarm alami yang bisa mendorong kita untuk lebih menyayangi diri sendiri, fokus kepada apa yang harus dicapai. Bukan bagaimana kita mengatasinya, tetapi bagaimana kita mengerti apa yang sebenarnya kita inginkan.

Rasa takut ini harus menjadi pengingat bahwa kita harus melakukan sesuatu, harus mencapai sesuatu walaupun tidak sama dengan yang dicapai orang lain. Temukan apa yang membuat dirimu nyaman dan bahagia.

Fokus dengan diri sendiri adalah salah satu upaya dalam menghadapi dampak buruknya. Setiap orang pasti memiliki jalan hidupnya masing-masing. Tak selalu berada paling depan, sebagai manusia juga akan merasakan bagaimana berada dipaling belakang. Selalu merasa cukup dapat menjadi pilar agar tidak ketergantungan. Nikmati proses dan bangun pemikiran bahwa semua yang dilakukan adalah peluang, bukan kewajiban. Jangan menyia-nyiakan kesempatan hanya untuk mengikuti kepuasan. Tak lupa juga untuk senantiasa memahami apa yang kita perlukan agar hidup tak kelebihan ataupun kekurangan.

Penulis: Dera Mutia, Sri Aryanti, dan Zita Fany
Penyunting: Raisa Fadilah Ramadani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *