Musyawarah Mahasiswa 2020: Daring Terancam Kehilangan Esensi, Luring Terancam Kehilangan Nyawa

09b5dbf2 Ef40 4108 8106 7b0546d335e8

Oleh: Ayu Sabrina B.

Bulan Desember setiap tahunnya selalu ramai dengan isu kontestasi politik kampus, mulai dari jurusan, fakultas, unit kegiatan mahasiswa, hingga tingkat universitas. Isu hangat biasanya bergulir seputar siapa para pemimpin di periode selanjutnya, bahkan juga isu-isu siapa saja para pendukung dan penyumbang suara bayaran ikut ramai diperbicangkan. Eits, bukan bayaran uang tetapi bayaran sebuah kursi basah atau kontrak politik belaka. Tahun ini, agaknya berbeda. Balada Mumas tahun ini menjadi kebimbangan antara dilakukan secara luring atau daring.

Dilakukan Secara Daring akan Menghilangkan Esensi

“Suasana dari MAM/Mumas akan hilang,” itulah salah satu jawaban dari orang-orang yang bersikukuh ingin melakukan musyawarah mahasiswa secara langsung. Dalam hal ini penulis agak setuju, dan lucu membayangkan jika suasana Musyawarah Mahasiswa yang selalu penuh dengan argumentasi dan sedikit emosi itu, akan dilakukan melalui ruang-ruang online.

Kebayang kan, pas mau interupsi di mana posisi udah kesel, geram, karena ingin mengadu argumen eh sinyal malah ilang. Atau yang paling parah, masa iya mau marah-marah di rumah dengan posisi persidangan diliatin emak, bapak, sekeluarga. Atau jangan-jangan sidang online nya bakalan sepi interupsi, karena kebiasaan ngantuk pas dosen ngejelasin materi perkuliahan secara daring.

Selain itu, metode daring ini akan menjadi tantangan baru para aktor politik untuk mengatur strategi pemenangannya. Beberapa mungkin akan kesusahan dalam mengamankan suara, karena posisi konstituen yang berada jauh dengannya. Namun, beberapa juga diuntungkan karena memudahkannya melakukan propaganda secara online.

Bukan hanya menghilangkan esensi dan suasana, tetapi juga menodai AD ART juga tata tertib sidang yang telah berlaku. Dalam pasal 1 tata tertib Musyawarah Akbar Mahasiswa, contohnya menjelaskan bahwa, “Musyawarah Akbar Mahasiswa dilaksanakan di lingkungan Universitas Siliwangi,” nah itu dimaksudkan bahwa ruang sidang ada di lingkungan Unsil. Ini menjadi kerancuan bagi pelaksana, apakah medium yang digunakan (video teleconference) dapat menggantikan kata ‘ruang sidang’ atau tidak.

Agaknya memang rumit jika berbicara regulasi, tentunya harus menghadirkan regulasi baru agar dapat mematahkan ketentuan lama yang mungkin sudah tidak relevan dengan keadaan saat ini. Entahlah, apa yang akan terjadi, jika musyawarah ini akan dilakukan secara daring, yang pasti akan unforgettable di sepanjang sejarah perpolitikan kampus Universitas Siliwangi.

Dilakukan Secara Luring Jelas Mengancam Nyawa

Mahasiswa tampaknya tak takut corona, yap itu sepertinya pernyataan yang tepat bagi para aktivis pemangku jabatan di perpolitikan kampus. Mengapa bilang mereka tidak takut corona ? Pertama, mereka masih berani beraktivitas di kampus dan melakukan kerumunan massa. Dengan dalih “ada yang lebih berbahaya dari sekadar virus, yaitu program kerja yang terancam pupus”. Kedua, karena pemkot dan lembaga Unsil tidak tegas. Coba kalau ancamannya DO (drop out) bagi siapa pun yang masuk kampus dan melakukan kerumunan massa, mungkin mahasiswa gak ada tuh yang masih haha hehe, bahkan tidur di kampus.

Mahasiswa sepertinya lebih takut laporan pertanggung jawaban tahunan dibanding virus corona. Meskipun begitu, kita mahasiswa biasa yang kerjanya juga #dirumahaja harus patut angkat topi, akan keberanian mereka tetap menghidupkan ruang-ruang diskusi dan layanan program kemahasiswaan. Karena, bahkan elit lembaga pun sangat sulit dijumpai di ruangannya karena kebanyakan work from home.

Di samping itu, hingga Sabtu, (05/11) data sebaran COVID-19 di Kota Tasikmalaya tercatat sebanyak 1021 kasus, dengan jumlah sementara korban meninggal sebanyak 27 orang. Di 10 kecamatan yang ada, semua telah dicap sebagai zona merah begitu pun dengan Universitas Siliwangi, yang berlokasi di Kecamatan Tawang yang juga merupakan zona merah.

Ini menjadi ancaman nyata, walaupun si virus tak nampak. Jika musyawarah mahasiswa dilakukan secara langsung apakah lembaga akan menjamin kita tidak akan reaktif COVID-19? Atau panitia mau menjamin? Kekhawatiran ini bukan hanya dirasakan penulis, tapi pasti keluarga kita juga khawatir. Siapa yang tahu bahwa ‘susuguh’ yang biasa diberikan panitia oleh tangannya kepada peserta sidang, bukan hanya membawa nutrisi yang bisa nahan kantuk, tapi mungkin membawa juga si COVID-19.

Kalau pun dilakukan secara langsung dan berjanji mengoptimalkan protokol kesehatan, itu pun tak cukup. Siapa yang akan tahan dalam ruangan berjam-jam, pakai masker, face shield, sarung tangan, dan harus bawa alat makan sendiri, disinfektan juga, dan alat pelindung lainnya. Sangat repot bukan. Lagi-lagi kita tak bisa menjamin, apakah di antara kita semua akan konsisten melakukan hal tersebut?

Mengutip perkataan Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Prof. Dr. H. Budy Rahmat, Ir., MS.  sewaktu diminta mengomentari perihal program kerja organisasi kemahasiswaan yang mangkrak di tengah pandemi. Beliau berkata bahwa, “Sulit mencegah mahasiswa untuk tidak berkumpul, betul sulit. Padahal ini untuk kebaikan bersama, untuk kesehatan bersama.”

Musyawarah Mahasiswa tetap Harus Dilaksanakan

Meski masih di ambang kebimbangan akan dilakukan luring atau daring, tetapi musyawarah mahasiswa harus tetap dilaksanakan. Ini menyoal pembangunan politik di kampus, tentang demokratisasi yang harus terus hidup. Bagaimana pun teknisnya, caranya, jangan sampai berlarut dan tidak maksimal. Untuk para panitia, penulis sarankan untuk menyusun plan dari A sampai dengan Z. Jangan terlalu lama berharap pada lembaga, karena nyatanya solusi memang datang dari para mahasiswa itu sendiri.

Beberapa kampus juga sudah terbukti berhasil melaksanakan musyawarah mahasiswa dengan cara online, mengapa Unsil tidak? Buktikan bahwa kita tidak gagap teknologi, dan mampu melawan segala kesulitan yang ada.

Penyunting: Rini Trisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *