Nasib Legalisasi Ganja Medis Pasca Kandas di Meja MK

Ilustrasu Ganja Vania Damayanti

Pada 2020, Komisi Narkotika dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu the UN Commission on Narcotic Drugs (CND) mengeluarkan ganja dari daftar narkoba berbahaya, sekaligus menyebutnya berpeluang dimanfaatkan sebagai obat medis dan terapi. Namun, pemerintah Indonesia menolak menempuh jalan serupa dengan alasan penggunaan ganja di Indonesia lebih banyak dikonsumsi untuk bersenang-senang dibandingkan untuk kepentingan medis.

Hingga Juni 2022 unggahan foto seorang ibu yang memperjuangkan ganja medis untuk pengobatan anaknya, viral di sejumlah media sosial. Ibu tersebut bernama Santi Warastuti yang berasal dari Sleman, Yogyakarta.

Santi memperjuangkan ganja medis tersebut karena anaknya mengidap Cerebral palsy, penyakit yang menyebabkan gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh. Anaknya mulai menderita penyakit tersebut sejak memasuki taman kanak-kanak. Menurut berbagai sumber literatur, perawatan paling efektif untuk penyakit tersebut adalah dengan melakukan terapi CBD Oil yang merupakan senyawa non intoksikasi yang diekstrak dari tanaman ganja (Cannabis sativa).

Penyakit yang Bisa Diredam oleh Ganja

Secara umum, ganja terbagi dari dua jenis, yaitu Cannabidiol (CBD) dan Tetrahydrocannabinol (THC). CBD memiliki sangat sedikit zat berbahaya, sementara THC adalah zat yang memberikan efek tinggi ketika mengonsumsi ganja.

Melansir dari Harvard Medical School, pada ganja dengan strain yang dominan CBD hanya memiliki sedikit atau tidak ada kandungan THC sama sekali. Ganja dengan strain CBD ini yang biasa digunakan untuk pengobatan. Penelitian terbatas menunjukkan bahwa CBD dapat mengurangi kecemasan, mengurangi peradangan dan meredakan nyeri, hingga membunuh sel kanker, epilepsi, dan memperlambat pertumbuhan tumor.

Mengutip dari Web MD dan Harvard Health Publishing, ada beberapa kondisi medis yang bisa “diredam” oleh ganja, seperti epilepsi, gangguan bipolar, gangguan kecemasan, alzheimer, penyakit saraf, fungsi usus, dan skizofrenia.

Kebijakan Pemerintah

Sejak viralnya unggahan foto Santi di media sosial, banyak orang yang mendesak pemerintah untuk segera melegalkan ganja medis di Indonesia. Wakil Presiden Indonesia, yakni Ma’ruf Amin bahkan meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa baru mengenai penggunaan ganja untuk medis karena selama ini MUI melarang penggunaan ganja tanpa pengecualian.

Namun, hal tesebut berbanding terbalik dengan Kepala Badan Narkotika Nasional, Komjen Petrus Reinhard Golose yang tidak setuju dengan adanya upaya legalisasi ganja di Indonesia. Menurut Petrus, harus ada dasar hukum yang mengatur adanya perubahan tersebut dan mereka cenderung ingin menyelamatkan generasi muda Indonesia dibandingkan melegalkan ganja.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad berjanji menampung usulan Santi. Ia menyatakan akan mendorong Komisi III DPR RI membahas rencana legalisasi ganja medis dalam Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang kini sedang digodok DPR bersama pemerintah.

Perlu kepastian mengenai ganja sebagai obat atau terapi dengan berbagai penelitian. Begitulah salah satu alasan Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk alasan kesehatan.

Dengan putusan ini, gugatan yang diajukan pada November 2020 oleh Dwi Pertiwi, Nafiah Murhayanti, dan Santi Warastuti, kandas di bawah palu hakim MK.

Pertanyaannya, apakah ini menjadi akhir bagi pembelaan hak penyandang disabilitas yang memiliki kebutuhan khusus dan dijamin hak-haknya dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas?

Pemerintah harusnya bisa lebih tegas dalam mengatur mekanisme dan pengawasan penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan. Diperlukan koordinasi antara lembaga terkait, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta Ikatan Dokter Indonesia untuk merumuskan kebijakan dalam memberikan akses pelayanan kesehatan dan mekanisme kontrol yang memadai bagi penggunaan ganja bagi kesehatan.

Legalisasi Ganja di Negara Lain

Sudah banyak negara yang melegalkan ganja di dunia ini. Baik itu untuk dikonsumsi secara pribadi oleh masyarakatnya atau hanya diperuntukan bagi kebutuhan medis.

Mengutip dari laman thrillist.com, beberapa negara yang sudah melegalkan ganja medis, yaitu Kanada, Amerika Serikat, Meksiko, Belize, Kosta Rika, Jamaika, Argentina, Kolumbia, Ekuador, Uruguay, Kamboja, Laos, Korea Utara, Peru, Belgium, Italia, Malta, Belanda, Portugal, Spanyol, Swiss, Georgia, Kroasia, Republik Ceko, Estonia, Rusia, Ukraina, Afrika Selatan, Australia, dan Thailand.

Intinya, segala sesuatu pasti memiliki dua sisi, yaitu sisi positif dan sisi negatif, tergantung sudut pandang kita sebagai manusia. Misalnya pada pisau. Pisau bisa digunakan untuk memotong bahan makanan dan memasak makanan paling enak di dunia. Namun, pisau juga bisa digunakan untuk mengancam orang atau bahkan membunuh orang. Tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Sama halnya dengan ganja, kita bisa menggunakan ganja untuk bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Namun, kita lupa bahwa ganja juga bisa digunakan untuk kebutuhan medis, untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang sebelumnya tidak bisa disembuhkan selain dengan ganja. Ganja hanyalah tanaman, itu bisa berefek negatif, maupun positif. Semua kembali lagi kepada cara kita sebagai manusia yang memiliki akal dalam menggunakan tanaman tersebut.

Penulis: Wasji Heryadi

Penyunting: Andini Primadani Putri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *