Oleh, Tia Elvia

Pelecehan seksual, bukanlah suatu istilah yang cukup asing terdengar di telinga masyarakat. Akhir-akhir ini berbagai media ramai menginformasikan berbagai kasus tentang topik ini. Seperti baru baru ini yang tengah viral, tepatnya di akhir Juli lalu publik dihebohkan dengan pengakuan salah seorang korban pelecehan seksual dengan modus keperluan riset.  Pelecehan seksual tersebut dilakukan oleh seorang mahasiswa  dari salah satu universitas di Surabaya. Korban diperintahkan membungkus seluruh tubuhnya dengan kain, lalu setelah itu diambil foto dan video. 

Selain itu, di awal Agustus ini, publik juga kembali dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen di salah satu universitas swasta Yogyakarta. Pelaku mengaku melakukan pelecehan seksual dengan modus riset swinger (tukar pasangan) dan telah mencari target sejak tahun 2014. Kini, jumlah korban terhitung mencapai sekitar 300 korban. Secara umum, pelecehan seksual merujuk pada perilaku yang ditandai dengan komentar-komentar seksual yang tidak diinginkan dan tidak pantas atau pendekatan-pendekatan fisik berorientasi seksual yang dilakukan di tempat/situasi kerja, profesional atau sosial lainnya.

Pelecahan seksual dapat terjadi di wilayah publik seperti pertokoan, jalan, atau transportasi umum oleh pelaku yang tidak dikenal korban (stranger sexual harassment) maupun wilayah di mana korban biasa beraktivitas seperti tempat kerja, kantor, kampus, lingkungan rumah atau sekolah oleh pelaku yang dikenal baik oleh korban (Fairchild & Rudman, 2008; Pina, Gannon, & Saunders, 2008).

Gelfand dkk. (1995) menyebutkan bahwa pelecehan seksual terbagi menjadi perilaku verbal dan non-verbal. Beberapa contohnya yakni merendahkan perempuan secara seksual di tingkat kelompok seperti membuat gurauan atau komentar tentang perempuan sebagai objek seks atau memamerkan/mendistribusikan gambar perempuan sebagai objek seks, ucapan atau bahasa tubuh yang secara seksual mengejek tampilan, bentuk tubuh atau pakaian seseorang, atau mempertontonkan atau menyebarkan pornografi. Sedangkan, pemaksaan seksual umumnya berbentuk suap atau ancaman secara eksplisit atau implisit untuk memfasilitasi terjadinya tindakan seksual (misal pemaksaan tindakan seksual dengan imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan atau pendidikan korban).

Selain itu, dilansir dari Komnas Perempuan, berikut beberapa jenis kekerasan seksual:

1. Perkosaan

2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan

3. Pelecehan seksual

4. Eksploitasi seksual

5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual

6. Prostitusi paksa

7. Perbudakan seksual

8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung

9. Pemaksaan kehamilan

10. Pemaksaan aborsi

11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi

12. Penyiksaan seksual

13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual

14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan

15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Pada umumnya, sasaran korban pelecehan seksual sering kali tertuju pada wanita. Namun, laki-laki juga dapat menjadi korban, dibuktikan dengan maraknya kasus pelecehan sosial pada laki-laki. Pelecehan seksual dapat dialami oleh laki-laki maupun perempuan walaupun berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku adalah laki-laki dan korban adalah perempuan (Lonsway, Cartona, & Magley, 2007; Pina dkk., 2008; WHO, 2012). Penelitian diberbagai negara menunjukkan pelecehan seksual umumnya terjadi di wilayah-wilayah yang dipandang ‘aman’ seperti sekolah, kampus/universitas, asrama mahasiswa, dan tempat kerja yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban seperti teman, rekan kerja, guru/ dosen, atau pimpinan kerja dan sebagian di wilayah publik (WHO, 2012).

Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?

Pada umumnya, pelecehan seksual biasanya terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan atau pun otoritas.  Maknanya si pelaku biasanya memiliki “power” atau pun jabatan yang lebih tinggi dari si korban. Menurut Triwijati, salah satu contoh dimensi pelecehan seksual yakni “Seducer-Demander” vs “Passive-Initiator”. Tipe pertama adalah seorang yang lihai “memainkan kekuasaan”. Dialah yang secara aktif merancang tindakannya dengan memanfaatkan posisinya. Tipe pertama yang “seducer” menggunakan posisinya karena ia membutuhkan rasa diinginkan dan dicintai; “demander” memakai posisinya untuk membuat target tahu “posisi dia yang se-mestinya”. Tipe kedua, “passive-initiator” mengawali tindakan dengan “memuji” atau “menggoda”. Mereka beranggapan bila korban “menjawab” (melakukan kontak seksual) maka apa yang terjadi bukan kesalahan mereka. Mereka mengatakan korbanlah yang “meminta”.

Di samping itu, dilansir dari Komnasham, Pelecehan Seksual menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap perempuan lainnya karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami pelecehan/kekerasan. Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Oleh karena itulah, hal tersebut membuat korban perempuan seringkali bungkam.

Lalu, bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk menghindari pelecehan seksual?

Langkah pertama, yang dapat dilakukan untuk menghindari pelecehan seksual adalah dengan tidak terlalu percaya dengan orang baru. Bersosialisasilah sewajarnya dan jangan terlalu jauh melibatkan orang luar dalam ruang lingkup kehidupan kita. Para pelaku biasanya memilih korban yang relatif pasif, oleh karena itu untuk melindungi diri maka kita harus berani bertindak. Selain itu, pentingnya pencegahan dan penanganan yang efektif juga menjadi poin utama yang harus diperhatikan, khususnya bagi anak-anak remaja yang mungkin belum terlalu paham perihal kasus ini. Orang tua juga harus ikut serta dan berperan aktif sebagai tameng utama melalui penanaman nilai agama dan penanaman karakter yang tepat bagi anak agar anak bisa berproses dengan baik tanpa harus takut mengalami kasus pelecehan seksual.

Penyunting: Rini Trisa