Oleh, Erika Nofia Pransisca Permatasari

Ilmu Politik 2017

Mungkin selama ini dunia pendidikan yang kita kenal hanya pendidikan formal dari TK sampai Sarjana ya. Walaupun kita juga sudah tahu kalau ada yang namanya pascasarjana. Tapi, biasanya dunia pascasarjana ini diisi oleh orang yang bisa dibilang sudah mapan, baik dalam karier maupun rumah tangganya. Nah, dari sini juga bisa disimpulkan bahwa dunia pendidikan yang selama ini menjadi perhatian, ya hanya pendidikan sampai jenjang sarjana. Pernahkah kamu sadari bahwa ada sistem pendidikan ‘bak’ kerja rodi yang sebenarnya luput dari perhatian kita. Saya sendiri sebagai penulis juga mengakui tidak akan tahu-menahu kalau bukan karena pandemi ini, hehehe.

Mari sebut saja namanya PPDS. Apa sih PPDS ini? PPDS adalah Program Pendidikan Dokter Spesialis yang dikhususkan bagi dokter umum yang menempuh pendidikan dalam bentuk praktik selama 4 sampai 6 tahun, tergantung pada program spesialis yang diambil. Dalam kata lain, peserta PPDS ini adalah mahasiswa tapi “kerja” tapi “sekolah”. PPDS merupakan pekerja utama di banyak rumah sakit pendidikan di bawah supervisi ahli pada masing-masing bidang.

PPDS ini bekerja full time 4-5 tahun tanpa bayaran, hanya di Indonesia PPDS justru membayar sejumlah uang dengan angka yang fantastis tanpa tunjangan dan jaminan keselamatan kerja (kalau gak percaya, coba cek PPDS di UI biaya per-smt-nya berapa). Nah, awareness soal keberadaan kaum bernama PPDS ini masih sangat rendah. Padahal selama pandemi COVID-19 dari bulan Maret hingga November ini, kaum PPDS merupakan garda paling depan dalam menghadapi si virus ini.

Kalau kalian bertanya kenapa saya menulis ini, jawabannya tentu karena ada yang salah. Mari kita bahas, saat ini ada belasan ribu dokter PPDS di 17 pusat pendidikan alias rumah sakit di Indonesia. Lalu? Di seluruh dunia, sekolah spesialis seperti PPDS ini mendapatkan gaji tiap bulannya, tentu karena mereka sebelumnya sudah menjadi dokter umum (memiliki lisensi dokter). HANYA di negara +62 ini, jangankan dibayar, justru mereka bayar. Butuh biaya rata-rata 400-500 juta untuk menempuh PPDS dari awal hingga lulus. Hmmm, fantastis ya?

Banyak dokter umum yang tetap memilih untuk melanjutkan pendidikan spesialis bukan tanpa alasan. Terbatasnya pilihan hidup di karier profesional menjadi salah satu dari sekian banyak alasan. Berbicara tentang gaji pun, dokter umum dan dokter spesialis memiliki perbandingan yang sangat jauh, yakni 1 berbanding 10-100 kali lipat. Serta keuntungan maupun kelebihan lain yang akan didapatkan ketika menjadi dokter spesialis. Mirisnya, Indonesia membutuhkan sangat banyak dokter spesialis. Perbandingannya adalah 7:2, di mana ketika jumlah dokter umum sebanyak 146.961 orang, jumlah dokter spesialis hanya berada di kisaran 41.627 orang. Data ini diperparah dengan penumpukan dokter-dokter spesialis di Indonesia Barat. Lebih parahnya lagi, sistem PPDS ini dianggap tidak bermasalah, pun kalau bermasalah, ya, di normalisasi. Selain itu, di negara lain, PPDS ini berbasis rumah sakit dan dianggap sebagai pegawai rumah sakit, di Indonesia PPDS berbasis pendidikan yang berada di bawah naungan Kemendikbud.

Selama masa pandemi ini, tidak sedikit PPDS yang mengalami depresi dan kelelahan. Bahkan beberapa data memberikan informasi bahwa perkuliahan PPDS sudah kembali tatap muka dengan tetap pada jadwal jaga di RS Pendidikan. Tentunya ditambah dengan ratusan dokter PPDS yang tertular COVID-19 karena berada di garda terdepan tanpa jaminan apa pun.

“Saya PPDS baru, gak boleh sakit, gak boleh swab, kalau sakit dinyinyirin,” ujar A.

“Kalau kami bergejala dan minta swab malah disuruh bayar, nasib PPDS yak,” ujar B.

“Mas, PPDS gak dibayar, pandemi ditaruh paling depan, SPP bayar full,” ujar C.

Nah, pernyataan di atas adalah contoh dari sekian banyak keluhan peserta PPDS yang kerja lembur bagai kuda tapi tidak dibayar. Dan bukan hanya perihal bekerja, di luar itu banyak pula permasalahan lain seperti senioritas yang dinormalisasi. Padahal Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2015 tentang Rumah Sakit Pendidikan sudah mengatur segala bentuk pelaksanaan hingga jaminan bagi PPDS. Namun, hal ini tidak serta merta didukung dengan adanya aturan turunan sehingga membuat peraturan ini seperti dilupakan.

Belum lama ini, Kemendikbud sebagai otoritas yang bertanggung jawab kepada PPDS mengeluarkan sebuah kebijakan. Isi surat instruksi Nomor 69868/MPK.E/KU/2020 tersebut mencakup 4 poin, yakni:

(1) Rektor memberikan keringanan biaya pendidikan untuk setiap residen berupa pengurangan biaya kuliah per semester minimal 25%;

(2) Rektor dapat memberikan perpanjangan masa studi untuk menjamin capaian kompetensi residen sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Kedokteran;

(3) Rektor bersama Direktur RSP harus memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan bagi residen yang menangani COVID-19 sesuai dengan protokol kesehatan untuk tenaga kesehatan, paling sedikit berupa:

a. pemenuhan alat pelindung diri sesuai dengan standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan;

b. pengaturan waktu kerja dan istirahat dilaksanakan sesuai dengan rekomendasi Komite Bersama Kemendikbud dan Kemenkes, yaitu jam kerja residen yang melakukan tugas jaga dibatasi selama 72 jam hingga 88 jam per minggu, dengan waktu istirahat dalam bekerja paling sedikit setengah jam, setelah bekerja selama 4 jam secara terus-menerus;

c. pelaksanaan tes PCR secara berkala; dan

d. pendampingan dari psikolog untuk mengantisipasi dan menangani kelelahan (burn out) atau depresi yang dialami oleh residen;

(4) Rektor dapat berkoordinasi dengan Direktur RSP untuk mengupayakan pemberian insentif untuk residen sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020, tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang menangani COVID-19.

Menyoal poin-poin yang merupakan dari surat instruksi di atas, Mendikbud mungkin menyoroti betapa pentingnya kehadiran PPDS ini di garda terdepan penanganan COVID-19. Namun, tetap saja instruksi tersebut dikembalikan kepada rektor tiap lembaga pendidikan. Artinya, bisa saja instruksi tersebut tidak dilaksanakan. Serta banyak PPDS sendiri menilai bahwa masih terdapat ketimpangan pada surat instruksi tersebut. Sebab menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun membahas bahwa jam kerja dibatasi hanya 40 jam/minggu. Dengan adanya tulisan ini, semoga pembaca menjadi lebih peka bahwa masih banyak kaum-kaum kerja rodi yang luput dari perhatian kita. Melalui surat instruksi di atas pula, semoga spesies bernama PPDS ini segera menjadi perhatian pemerintah.

Penyunting: Jihan F