Review Film Dua Garis Biru: Tidak Ada Adegan Tanpa Pesan

Judul : Dua Garis Biru
Genre : Drama
Sutradara: Gina S. Noer
Penulis: Gina S. Noer
Pemeran : Angga Aldi Yunanda, Adhisty Zara, Lulu Tobing, Cut Mini Theo, Dwi Sasono, Rachel Amanda, Ariella Calista Ichwan, Cindy Hapsari Maharani Pujiantoro Putri
Durasi : 1 jam 53 menit
Tanggal Rilis: 11 Juli 2019

Film Dua Garis Biru berhasil mencapai satu juta penonton dalam enam hari penayangannya di Bioskop. Bulan Juni 2019, trailer Film Dua Garis Biru menjadi trending nomor 1 di Youtube dalam beberapa hari. Setelah trailer itu ramai diperbincangkan, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa Film Dua Garis Biru mengajak atau mengarahkan pada hal negatif untuk remaja. Petisi menolak Film Dua Garis Biru ditayangkan ramai diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Gina S. Noer selaku penulis sekaligus sutradara beserta pihak-pihak yang terkait memberi penjelasan bahwa film yang mereka garap sama sekali tidak menjurus pada hal-hal negatif, malah sebaliknya. Cerdiknya, promo film ini menggaet Youtuber sekaligus Komika terkenal Raditya Dika. Dalam channel youtubenya, Radit berbincang dengan Gina S. Noer perihal pembuatan Film Dua Garis Biru, ditambah lagi dengan Angga dan Zara sebagai pemeran utama yang belajar menggendong bayi bersama istri Radit.

Meski mendapat penolakan dari beberapa pihak, film ini rilis pada 11 Juli 2019 dan seolah-olah ingin menampik atas tuduhan unsur negatif pada cerita film. Banyak review di sosial media, website, media online bahkan youtuber berbondong-bondong menjelaskan Film Dua Garis Biru memberikan pesan positif bagi penontonnya. Tak heran bukan jika kini sudah mencapai lebih dari 1 juta penonton.

Dua Garis Biru menceritakan kisah cinta anak SMA berusia 17 tahun bernama Dara dan Bima. Mereka satu kelas dan bahkan teman sebangku. Tak jarang teman-teman sekelasnya sering meledek untuk menikahkan Dara dan Bima saja karena terlihat selalu bersama. Sama halnya seperti di kehidupan sehari-hari bukan? Kalian pasti punya teman yang memiliki hubungan dan terkadang membuat gemas karena sering bersama di sekolah. Dara dan Bima ditampilkan sebagai anak yang baik pada umumnya. Namun suatu ketika Dara dan Bima melakukan hubungan di luar batas anak remaja berpacaran pada umumnya. Hal itu yang mengakibatkan Dara dan Bima harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

Tanpa menonton film secara keseluruhan, atau hanya sekadar menonton trailernya saja. Penonton dapat dengan mudah mengerti alur dari Dua Garis Biru. Mungkin hanya ending ceritanya saja yang bisa saja meleset dari prediksi penonton. Pemilihan alur cerita begitu sering terjadi pada lingkungan sekitar kita. Mungkin teman, saudara, kerabat, tetangga atau hanya mendengar cerita orang lain saja. Pergaulan bebas sudah tidak aneh di dengar di jaman sekarang ini. Namun film ini begitu berani mengangkat tema yang sebenarnya begitu krusial untuk dibicarakan kepada seorang anak namun sampai saat ini dianggap tabu.

Tidak ada sedikit pun adegan yang berbau seks dalam film ini. Film ini memberikan edukasi dampak dari adanya pergaulan bebas dan peran orang tua dalam memberikan edukasi mengenai seks. Sekarang coba kita mengingat pelajaran biologi saat di sekolah. Bagaimana penyampaian guru Biologi atau IPA saat menyampaikan materi reproduksi? Atau apakah orang tua kita secara gamblang ataupun pelan-pelan memberikan edukasi tentang seks?

Menariknya, film ini disajikan begitu padat tanpa basa basi. Dibuat begitu sesak sampai membuat penonton tersentuh secara emosi. Tidak terlalu banyak dialog, terutama tokoh Bima yang diperankan oleh Angga Yunanda. Diamnya sosok Bima dan sorot matanya mampu menggambarkan apa isi hati dan pikiran seorang anak laki-laki berusia 17 tahun yang harus tanggung jawab pada sang Pacar. Selain itu, akting Zara personal JKT48 sebagai Dara melengkapi tokoh Bima. Zara mampu maksimal menjadi sosok remaja yang terlihat begitu natural tanpa dibuat-buat.

Tidak hanya tokoh utamanya saja, tokoh figuran yang hanya numpang lewat saja begitu disajikan apik. Abang Ojek Online yang membelikan test pack untuk orderan Bima begitu disajikan dengan niat oleh sutradara. Peran Asri Welas sebagai ibu yang hamil tua dan rempong begitu natural dan kaget melihat Dara yang masih muda sedang mengecek kehamilannya di Dokter yang sama. Ekspresinya mewakili orang-orang di luar sana yang merespons kehamilan yang terjadi seperti Dara. Bahkan tetangga Bima yang hidup di perkampungan dengan rumah yang berdempetan begitu natural menggambarkan sisi lain sebuah kota.

Selain tokoh-tokohnya yang disajikan begitu niat, sinema fotografi Dua Garis Biru perlu diacungi jempol. Pengambilan gambar, antara yang close up dengan tidak begitu rapi dan apik bahkan dibuat bermakna. Salutnya ada beberapa adegan yang berani long take sampai kurang lebih 5 menit. Kehidupan Dara dan Bima begitu terlihat kontras berbeda. Dara dengan latar belakang keluarga menengah ke atas dan Bima menengah ke bawah. Bima ditampilkan lebih dekil dari aslinya (Angga). Dara ditampilkan anak remaja yang kekinian dengan kecintaannya pada K-Pop.

Tentu film ini memberikan pesan agar tidak melakukan pergaulan bebas dan bagaimana peran orang tua dalam mengawasi dan tumbuh kembang anaknya. Makna dari film ini lebih dari itu. Setiap adegan dibuat apik dan memiliki pesannya sendiri. Tak ada adegan yang tidak ada pesan. Mungkin perumpamaannya seperti itu. Sampai benda mati yang menjadi sorotan kamera memiliki makna yang mendalam. Mulai dari stroberi, jus stroberi, kerang, sampai ondel-ondel berwajah merah ataupun putih. Benda mati yang menjadi sorotan memiliki makna yang mungkin ditafsirkan berbeda oleh penonton.

Penulis mungkin sengaja menyelipkan humor di tengah-tengah keadaan yang mengundang emosional. Mungkin agar tidak larut dalam kesedihan atau rasa iba. Namun ada beberapa penonton yang mungkin terasa terganggu dengan humor itu yang malah memecah kesedihannya. Durasi 1 jam 53 menit begitu padat dan sesak tanpa jeda. Konflik, konflik, dan konflik. Sampai di ending-pun penonton mungkin dibuat bingung apakah bercerai atau tidak atau bagaimana kelanjutannya. Jika durasi diperpanjang atau cerita dibuat tidak terlalu padat, film ini tetap tidak akan terlihat monoton. Karena adegan dan akting para pemain begitu natural tidak dibuat-dibuat. Sekalipun durasi diperpanjang dan ditambah agar lebih dramatisasi, sepeti diperpanjang adegan Bima bingung saat memutuskan pengangkatan rahim atau operasi, bisa juga diperpanjang adegan Bima bersama Ibu dan Bapaknya serta Ayah dan Mamah Dara berlari menuju UKS untuk melihat keadaan Dara, sama sekali tidak akan membuat jenuh. Mungkin penulis hanya tidak ingin penonton begitu larut dalam kesedihan dan terkesan dua garis biru terlalu dramatis.

Kekecewaan ending cerita dan kurangnya durasi ataupun selipan humor sama sekali tidak menghapus pesan dari film ini. Alur ceria terlahir apa adanya, tampak nyata dan memang terjadi pada dua remaja di luar sana yang mengalaminya. Dua Garis Biru salah satu film tahun ini yang cocok untuk didiskusikan oleh siapa pun. Bisa bersama teman, pacar, saudara, orang tua, bahkan tokoh-tokoh. Film ini tidak hanya menggambarkan dampak pergaulan bebas, tapi film ini menyentil hati orang tua dan anak yang saat ini kurang membudayakan komunikasi. Film ini menggambarkan realita nyata. Realita bagaimana pemecahan masalah oleh dua keluarga yang berlatar belakang berbeda. Mengajarkan tanpa menggurui. Menyelesaikan bersama-sama bahkan mendukung satu sama lain tanpa menghakimi.

Penulis: Siska Fajarrany
Penyunting: Jihan F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *