Berfilsafat dalam Sebuah Novel
Resensi Novel Merahnya Merah

Judul : Merahnya Merah
Pengarang : Iwan Simatupang
Dimensi : 11×18 cm
Jumlah halaman : 164 halaman
Penerbit : PT. Toko Gunung Agung
Cetakan : 14
Tahun terbit : 2002

Berbicara tentang karya sastra tahun 1960-an tidak akan pernah lepas dari seorang Iwan Simatupang. Pria yang lahir di Sibolgapada 18 Januari 1928 telah banyak menciptakan karya sastra berupa novel. Termasuk novel “Merahnya Merah” yang merupakan novel pertama Iwan Simatupang. Berkisah dengan latar pasca revolusi, kisah ini menggambarkan nuansa kehidupan gelandangan dan permasalahannya, yang dimulai saat “tokoh kita” muncul kegubuk gelandangan.
Tokoh kita merupakan tokoh utama dalam novel ini. Dia yang sebelum revolusi adalah calon Rahib, selama revolusi dia menjadi komandan kompi, dan di akhir revolusi dia menjadi seorang algojo berdarah dingin. Pasca revolusi dia masuk rumah sakit jiwa sampai akhinya dinyatakan sembuh, ia kemudian menjadi gelandangan.
Ketika menjadi gelandangan, sosok tokoh kita ini menjadi seseorang yang paling diperhatikan. Bersama Maria seorang wanita yang dahulunya bercita-cita menjadi juru rawat, dia adalah korban dari penganiayaan dan pelecehan. Maria menjalani kehidupan gelandangan dengan baik.
Lama berselang, munculah Fifi seorang gadis yatim piatu berusia 14 tahun. Kedua orang tuanya meninggal sebagai korban pembunuhan. Sebelum tokoh kita menemukannya, Fifi hidup seorang diri. Ia kemudian dibawa menuju gubuk kecil tempat tinggal para gelandangan. Semenjak itu, Fifi menjalani kehidupan sebagai gelandangan.
Kemunculan Fifi membuka konflik pada cerita ini. Cinta segitiga bahkan cinta “segi semrawut” terjadi. Kisah yang berisi cintaFifi pada tokoh kita, tokoh kita yang juga mencintai Fifi, namun Maria ternyata mencintai tokoh kita juga, di lain pihak Pak Centeng mencintai Maria, serta sang bekas bang becak pun mencintai Maria. Perasaan yang rumit dan memang sulit diprediksi.
Tokoh kita, Fifi, dan Maria tiba-tiba menghilang di lingkungan mereka. Semua orang mencari mereka. Pak Centeng mencari, sang bekas bang becak, Pangdam, Pangdak, dan dokter bekas ajudan tokoh kita juga ikut mencari ketiga orang tersebut. Namun, setelah 1 bulan pencarian mereka masih tidak dapat ditemukan dan misteripun mulai muncul.
Setelah 1 bulan lebih akhirnya misteri itu terkuak, tokoh kita kembali. Namun, yang kembali hanyalah dia seorang diri. Amarah Pak Centeng dan sang bekas bang becak tak terelakan, saat keduanya tidak melihat pujaan hati mereka yakni Maria tidak ikut kembali. Mereka memarahi tokoh kita yang pulang hanya seorang diri. Seakan kalap, mereka terus memberondong pertanyaan kepada tokoh kita tentang Maria.
Jawaban yang terlontar dari tokoh kita tak terduga. Maria ternyata membunuh Fifi. Maria menyembunyikan hal itu dan tokoh kita yang ikut hilang ternyata telah mengetahuinya. Semua terjadi karena Maria cemburu kepada Fifi. Fifi ternyata bukan menghilang melainkan ia dibunuh oleh Maria karena jelas Maria cemburu terhadap Fifi yang berhasil mengambil rasa cinta dari tokoh kita. Semua orang kaget dan tak menyangka akan hal itu, apalagi setelah mendengar bahwa Maria menjadi biarawati.
Terbawa emosi dan didorong oleh rasa cemburu kepada tokoh kita, Pak Centeng mengayunkan golok ke leher tokoh kita. Ditebasnya leher tokoh kita hingga terputus. Saat bersamaan pula ditembak juga kepala Pak Centeng oleh pangdam. Dua orang tersebut akhirnya terkapar dan cinta semrawut itu berakhir.
Inilah karya Iwan Simatupang yang terkenal, aneh dan karya yang avant-garde. Roman baru yang setiap tokohnya memiliki perasaan, pikiran, dan tindakan yang merupakan filsafat yang dipersonifikasikan, atau filsafat in action, atau orang darah daging yang difilsafat eksostensialiskan. Eksistensialisme dalam novel ini juga jelas menjadi aliran yang dianutnya dalam filsafat kehidupan. Tema kesepian, kebebasan pilihan hidup, dan kesadaran sosial selalu jadi tema utama novelnya.
Menggunakan akhir yang twist ending, novel Merahnya Merah ini memiliki akhir cerita yang dipelintir. Aspek lain seperti alur, penokohan, serta latar tetaplah sama dengan novel Iwan Simatupang lainnya. Tokoh utama tetaplah tokoh kita (tokoh tanpa ketunggalan identitas). Tokoh yang dimiliki secara kolektif oleh pembaca dengan sifat kegelandangannya. Kemudian alur flashback sorot balik, menyusun novel ini hingga penyelesaian konflik yang asyik.
Hal yang menjadi alasan mengapa buku ini direkomendasikan adalah novel ini merupakan novel pendobrak yang mampu memberikan unsur filsafat kehidupan. Selain itu, isi cerita yang tidak biasa, bisa sedikit melepas kejenuhan akan cerita-cerita lainnya. Apalagi, karya yang selalu berbeda dari Iwan Simatupang dengan filsafat kehidupannya selalu memberikan rasa penasaran tinggi dan sangat menarik untuk dibaca. (Rabbani FD)