Oleh Ayu Sabrina Barokah

“Untuk jadi korban pelecehan seksual itu memalukan. Tapi jadi pelaku masih bisa ongkang-ongkang kaki.”

Pelecehan seksual bisa menimpa siapa saja, perempuan, laki – laki, muda, tua, berkuasa, atau tidak berkuasa. Pelaku pelecehan seksual pun beragam, dan banyak dari pelaku justru berada di lingkungan terdekat korban, bahkan orang – orang yang dipercayai korban. Tidak sedikit dari korban yang merasa jijik, dan bahkan menyalahkan diri mereka sendiri karena pelecehan dan kekerasan yang sudah mereka alami. Perilaku menyalahkan diri sendiri ini juga diperparah dengan kebudayaan pro pelaku, bahwa kasus kekerasan seksual adalah salah korban sendiri.

Solusi dari pelecehan dan kekerasan seksual sebenarnya sudah ada, yakni RUU PKS. Korban sangat membutuhkan RUU PKS untuk sah menjadi UU agar perlindungan serta pemulihan korban kekerasan seksual dan penyelesaian kasus dapat berjalan maksimal. Tugas negara adalah memulihkan martabat korban pelanggaran hak asasi, bagaimana negara dapat melakukan hal tersebut jika mereka menyulitkan keputusan yang seharusnya mudah?

Pada tanggal 2 Juli 2020 lalu, DPR menghapus RUU PKS dari daftar prioritas legislasi nasional tahun ini. Berita yang sungguh mencengangkan. Rupanya, alasan yang dikemukakan anggota dewan juga tak kalah mencengangkan. “Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit,” begitu kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, dua hari sebelum RUU PKS resmi ditarik.

Padahal jika ditengok dari tingkat urgensinya, RUU PKS lebih dari sekedar layak untuk masuk prioritas legislasi. Indonesia, hingga sekarang ini, belum memiliki payung hukum untuk menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual. RUU PKS melindungi korban kekerasan seksual, dengan mayoritas perempuan, yang selama ini selalu disalahkan.

Ada setidaknya 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019 yang sebagian besar bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama. Bahkan, selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen. Ini artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir.

Jauh daripada itu, sebagai sesama manusia kita perlu memiliki tenggang rasa dan rasionalitas. Terbukti, masih banyak orang yang menyalahkan sang korban yang rata-rata adalah perempuan. Mulai dari cara berpakaiannya yang dianggap menggoda, tingkah lakunya yang buat nafsu lawan jenis, hingga ucapan tak senonoh seperti ‘paling nikmatin juga kan?’. Padahal, sudah banyak berita, artikel, dan survei yang membuktikan bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan bukan dari pakaiannya.

Banyak yang beranggapan bahwa pelecehan seksual itu diperkosa atau disentuh bagian pribadinya. Padahal, pelecehan seksual bukan hanya sebatas itu saja. Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual dikategorikan menjadi dua macam yaitu pelecehan seksual secara verbal dan pelecehan seksual non verbal.

Hal yang paling sulit dibuktikan bahwa suatu perlakuan merupakan pelecehan seksual adalah saat bercanda. Misalnya teman kantor/kuliah suka panggil dengan konotasi seks atau dengan menjilati bibir. Perlakuan seperti ini jelas tidak menyenangkan bagi perempuan. Ya kalau mereka cukup dekat, beberapa perempuan masih dapat memaklumi dan dibilang hanya bercanda iseng. Namun, jika sudah menimbulkan ketidaknyamanan pada lawan bicaranya, hal ini tentu saja sudah termasuk pelecehan seksual. Pada akhirnya, yang merasa tersinggung dan tidak nyaman malah dicap baper.

Lalu mengapa korban mayoritas tak berani melapor? Ini pun berasal dari orang sekitar bahkan kebanyakan orang yang tidak memberikan dukungan atau pembelaan. Seperti diutarakan di atas, masih banyak orang yang berkomentar bahwa itu adalah kesalahan korban dan bukan murni kesalahan pelaku. Pada akhirnya, banyak korban khawatir dirinya akan menerima stigma negatif dari masyarakat jika membuka identitas dan melaporkan kasusnya. “Aku masih nggak berani buka identitas. Aku takut kehilangan job, takut namaku jadi jelek. Kalau orang-orang tahu aku udah nggak virgin gimana? Kalau orang-orang tahu aku pernah dipegang-pegang dia gimana?” seperti itu kiranya ungkapan para korban.

Belum lagi korban yang justru berisiko dikriminalisasi. Catatan tahunan Komnas Perempuan 2019 melaporkan bahwa perempuan sebagai korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga pernah balik dikriminalisasi dengan Undang-undang PKDRT, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Pornografi, dan dengan KUHP.

Namun, bukan berarti hukum Indonesia sepenuhnya tidak bisa diharapkan. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum telah melarang hakim untuk melakukan victim blaming. Ketika sidang, hakim tidak boleh melakukan victim blaming. Itu harus diterapkan ketika melakukan sidang kekerasan terhadap perempuan, apalagi kasus kekerasan seksual, kita masih punya harapan karena ada aturan-aturan yang bisa kita gunakan.

Di samping itu, dampak yang terasa bagi perusahaan, sekolah atau pun ruang lingkup lainnya cukup berdampak jika ada kasus pelecehan seksual. Selain buruk bagi korban, pelecehan seksual juga mengakibatkan penurunan semangat kerja pekerja. Ancaman pelecehan seksual, lingkungan kerja yang tidak nyaman, atau konflik dan stres yang diakibatkan insiden pelecehan seksual. Selain itu, yang paling terasa secara keseluruhan adalah tercorengnya nama baik korban, pelaku, dan juga instansinya.

Maka dari itu, tidak ada alasan untuk tidak mendukung korban pelecehan seksual tuk bisa mendapatkan keadilan. Bisa-bisa moral bangsa kita akan hancur, jika menghargai perempuan, korban, dan orang yang lemah saja kita masih tak mampu. Dukungan moral pun sudah cukup membantu, apalagi jika ditambah dengan dukungan aksi nyata.

Selama RUU PKS belum disahkan, perlindungan dan dukungan dari masyarakat kepada korban kekerasan seksual dibutuhkan. Penting untuk mempercayai dan mendukung korban kekerasan seksual yang menceritakan kisahnya. Dengarkan ceritanya, pahami dampak yang Ia alami, dan fasilitasi kebutuhan-kebutuhannya. Salah satu kebutuhan yang paling penting adalah keamanannya.

Penting pula untuk menghargai privasi dan kerahasiaan identitas korban, mendukung keputusan yang diambil korban, dan tidak mendiskriminasi korban. Jangan mengarahkan keputusannya sesuai pendapat pribadi. Hargai pendapat dan kapasitas penyintas untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Hal ini termasuk menghargai korban yang memilih untuk tidak melaporkan kasusnya.

Penyunting: Jihan